Tak ada yang tidak berubah dalam hidup ini. Tak ada kondisi yang tetap. Bumi ini berputar, alam bergerak, manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya hidup. Perubahan merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Keadaan suatu bangsa juga pasti mengalami perubahan. Peta kejayaan dan kekalahan suatu umat pasti bergilir, seperti silih bergantinya malam, seperti perputaran roda. Itulah siklus perubahan yang tunduk pada sunatullah.
Apa rahasia di balik sunnatullah tersebut? Al-Qur’an mengajarkan, bahwa semua itu agar kita tidak jatuh dalam kubang kekecewaan dan keputusasaan. Supaya kita tidak terjerembab dan terlibas arus yang tak menentu dalam berjuang menegakkan kebenaran dan menjalani kenyataan hidup.
Saudaraku,
Saat ini adalah masa-masa genting. Rentang waktu yang banyak membuat kita resah, sedih, prihatin dan gelisah. Resah akan ketidakberdayaan dunia dan umat Islam di hadapan kepongahan orang-orang yang pongah. Kesedihan dan keprihatinan karena ketidakmampuan dunia dan umat Islam menghadapi kezaliman orang-orang yang zalim.
Benar, tak ada yang tak berubah dalam hidup ini. Tapi yang lebih penting kita renungi sekarang adalah petunjuk Allah, bahwa perubahan itu tidak berdiri sendiri. Perubahan nasib dan keadaan bukan hadiah. "Allah tidak mengubah kondisi atau nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah keadaannya," begitu firman Allah swt.
Saudaraku,
Ada dua unsur terpenting dari perubahan menurut Al-Bukhturi: Hati yang berkilau dan semangat yang bergelora. Ia menyebutnya dalam ungkapan, "nafsun tadhi‘ wa himmah tatawaqqad" (Diwan al Bukhturi 1/269). Hati yang berkilau adalah kiasan dari niat yang bersih dari beban noda dan kotoran. Niat yang bersih dari hawa nafsu, ambisi dan kepentingan pribadi, apapun bentuknya. Itulah yang menjadi prinsip dan pegangan Umar bin Abdul Aziz -khalifatul mu’minin yang dijuluki khulafa ur rasyidin kelima. Hisyam bin Abdul Malik menggambarkan hal itu dalam ungkapannya, "Aku tak mendapati Umar melangkah, satu langkah sekalipun, kecuali Umar telah meneguhkan niatnya." (Sirah Umar, Ibnu Abdil Hakam, 30/29)
Kuat dan lurusnya niat Umar lah yang menjadikannya berhasil dalam waktu lebih sedikit dari dua tahun, melakukan perbaikan besar yang menyeluruh ke semua wilayah Islam. Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang amat kita rindu dan dambakan itu, memang pernah mengatakan niat dan tekadnya saat ia menggantikan posisi khalifah yang sebelumnya dipegang oleh Sulaiman bin Abdul Malik. Ketika itu Umar mengatakan, "Aku akan duduk di sebuah tempat yang tak kuberikan sedikitpun tempat untuk syaitan." (Sirah Umar, Ibnu Abdil Hakam). Itulah niat dan tekad Umar. Bersih, tulus dan kokoh. Itulah jiwa yang berkilau.
Saudaraku,
Niat yang bersih juga menjadi indikator prestasi dan kualitas amal yang dilakukan pemiliknya. Abdullah bin Mubarak menyebutkan "Berapa banyak amal yang kecil tapi dibesarkan oleh niat, berapa banyak amal yang banyak namun dikecilkan karena niat…." Juga ungkapan tokoh Tabi’in Mutharrif bin Jalil Abdullah, "Baiknya amal tergantung baiknya hati. Baiknya hati tergantung dengan baiknya niat. Siapa yang niatnya baik maka ia akan baik, dan siapa yang niatnya bercampur dan kotor, maka ia menjadi kotor dan bercampur."
Mari bersama, tanamkan keyakinan bahwa niat dan kebersihan hati ini harusnya kita letakkan pada tempat paling tinggi yang paling kita perhatikan. Jangan sampai, berbagai aktivitas lain menjadikan kita lupa dari memelihara niat dan kesucian hati. Inilah yang disinggung oleh Mushthofa Shadiq ar Rafi’i, "Kesalahan terbesar adalah bila engkau berusaha meluruskan dan membenahi kehidupan yang ada di sekitarmu, tapi engkau meninggalkan kekacauan dalam hatimu." (Wahyul Qalam, 2/44)
Saudaraku,
Syarat perubahan yang kedua, adalah himmah tatawaqqadu, semangat yang tinggi. Niat yang bersih akan menjadi kekuatan dahsyat bila bersanding dengan ketinggian dan kekuatan semangat. Menurut Ibnul Qoyyim, hati itu seperti burung, bila terbang meninggi maka ia akan jauh dari bahaya, tapi bila ia semakin dekat ke bumi, ia semakin terancam oleh bahaya," (Al-Jawabul Kafi, 80, Ibnul Qoyyim).
Kekuatan burung untuk terbang lebih tinggi harus didukung dengan kekuatan niat dan semangat. Korelasinya begini, setiap kali jiwa seseorang meninggi semangatnya maka hati pun akan bersih dari berbagai kontaminasi dan selalu sibuk dengan urusan yang besar. Sekaligus semangat itu pula yang akan menjadikan hati terpelihara dari penyakit dan panah syaithan.
Saudaraku,
Semangat dan obsesi yang tinggi ini yang menjadikan seorang salafussalih di hadapan murid-muridnya mengatakan, "Demi Allah aku tidak menyukai kehidupan dunia untuk mencari uang atau untuk berdagang, tapi untuk dzikir kepada Allah dan membacakan kepada kalian hadits Rasulullah." (Tarikh Baghdad, 1/352). Ini pula yang menjadikan Hasan Al Banna mendefinisikan pejuang Islam adalah orang yang "Memberikan seluruh hartanya, seluruh darahnya, seluruh jiwanya, di jalan akidahnya yang ia yakini kebenarannya dan ia lakukan hidup untuknya." (Mudazkkiratu dakwah wa da’iyah, 233).
Saudaraku,
Tak ada jiwa yang tak disibukkan dengan perkara besar, kecuali ia akan disibukkan oleh perkara kecil. Tak ada jiwa yang tidak disibukkan dengan kebaikan, kecuali ia pasti disibukkan dengan keburukan. "Jiwa itu selalu cenderung pada yang enak dan santai. Tidak berselera kepada sesuatu yang tidak disukai dan berat. Maka angkatlah jiwamu sejauh engkau bisa mengangkatnya ke tempat yang tinggi," begitu pesan Muhammad Ahmad Rasyid dalam ar-Raqaiq.
Begitulah indah dan idealnya kekuatan iman. Tapi ingat, semangat yang tinggi, mempersembahkan hidup untuk urusan urusan besar, berjuang untuk kepentingan akhirat, bukan berarti tak menapakkan kaki di bumi. Bukan berarti menolak segala kebutuhan sarana dan prasarana hidup. Sebab justru bekal ketinggian semangat untuk mengarungi perjuangan panjang, harus juga ditopang dengan perbekalan hidup yang cukup.
Saudaraku,
Jiwa ini perlu tantangan dan perlu benturan. Dalam suasana ada tantangan dan benturan yang memunculkan mujahadah atau upaya keraslah akan muncul kualitas iman yang baik. Sayyid Quthb, pejuang da’wah Islam yang syahid di tiang gantung mengerti sekali tentang hal ini. Katanya, "Hakikat iman tidak akan terbukti kesempurnaannya dalam hati seseorang sampai ia menghadapi benturan dengan upaya orang lain -yang berlawanan dengan imannya. Karena di sinilah, seseorang akan melakukan mujahadah sebagaimana orang lain melakukan mujahadah kepadanya untuk menghalanginya dari keimanan. Di sinilah cakrawala iman akan tersingkap dan terbuka. Keterbukaan yang tidak pernah terjadi pada jiwa orang yang merasakan iman secara datar. (Sayyid Quthb, Haadza diin, 10). Wallahu’alam
0 comment:
Post a Comment