RSS
Facebook
Twitter

March 23, 2012

Hidup itu antara “ Debet” & “Kredit”

 

Akuntansi pada dasarnya adalah bagaimana mencatat suatu peristiwa ekonomi di sisi debet dan di sisi kredit. Karena memang, setiap peristiwa ekonomi itu (dalam perpspektif akuntansi) akan memunculkan bagian yang harus dicatat di sisi debet dan bagian yang harus dicatat di sisi kredit. Artinya, tidak ada satu peristiwa ekonomi yang hanya dicatat di sisi debet saja atau di sisi kredit saja. Dalam akuntansi, proses pencatatan debet dan kredit atas setiap peristiwa ekonomi tersebut diakumulasi dalam sebuah laporan keuangan. Posisi mana yang lebih besar, dapat menunjukan apakah entitas dalam keadaan mendapat laba atau mengalami kerugian. Dalam laporan laba rugi misalnya, jika jumlah pada sisi kredit lebih besar daripada debet maka entitas dalam keadaan untung, begitupun sebaliknya. Tetapi berbeda dalam neraca, jumlah pada posisi debet harus dalam keadaan seimbang (sama) dengan kredit. Hal itu menunjukan, asset yang dimiliki entitas sama dengan jumlah modal dan utang entitas. 

Seperti akuntansi yang berkutat dengan pen-debet-an dan peng-kredit-an, sejatinya seperti itulah sebuah kehidupan. Setiap peristiwa yang terjadi akan menjadi catatan disisi debet dan disisi kredit. “Debet” dianalogikan sebagai catatan amal baik dan “kredit” dianalogikan sebagai catatan amal buruk. Oleh malaikat pencatat amal, setiap aktivitas manusia akan dicatat, apakah disisi “debet” atau di sisi “kredit”. Orang yang berfikir, tentu akan memilih setiap detik hidupnya diisi oleh aktivitas yang akan dicatat disisi kredit. 

Dalam perspektif akuntansi, debet itu berupa biaya-biaya yang yang harus dikeluarkan/dikorbankan /dibayarkan oleh entitas. Sementara , kredit adalah sesuatu yang diperoleh entitas melalui proses operasional entitas. Artinya, untuk menghasilkan Kredit dalam jumlah besar, harus menekan Debet agar berada dalam jumlah yang kecil, karena mustahil Debet (biaya) ditiadakan, sehingga laba pun bisa diperoleh. Dalam menjalani hidup, seperti biaya yang mustahil ditiadakan, amal buruk (dosa) tak mungkin kita hindari tetapi mampu kita minamialisir. Amal ibadah seperti sholat sekalipun, tak ada yang bisa menjamin sepenuhnya dicatat disisi kredit (dicatat sebagai amal baik), karena terkadang manusiapun menjalaninya hanya sebatas menggugurkan kewajiban bukan sebagai bukti rasa syukur dan bahkan mungkin ada yang melakukannya untuk sekedar mendapatkan kesan sholeh (riya). Belum lagi, tatacaranya (doa, gerakan dan hal lain yang terkait) yang belum tentu sesuai dengan apa yang dicontohkan nabi (bid’ah). Semua itu memang tak mudah atau bahkan tak bisa kita hindari, mengingat fitrah manusia yang tak luput dari salah dan lupa, tetapi semua itu dapat kita minimalisir. Melakukan setiap kewajiban agama dengan penuh keikhlasan sebagai bukti rasa syukur atas segala ni’mat yang diberikanNya, memenuhi setiap aktivitas dengan dzikrullah dan meniatkannya semata-mata untuk mendapatkan ridloNya akan meminimalisir kita dari aktivitas “debet”. 

Adanya catatan debet dan catatan kredit, tak lantas menjadikan kita menjadi orang yang egos. Yang hanya mau Untuk (sholeh) sendiri. Tapi, islam mengajarkan kita untuk “fastabiqul khairat” dan selalu berlaku baik kepada sesama. Menanam saham kebaikan di kehidupan orang lain, akan berbuah dividen (pahala kebaikan) untuk kita. 

Seperti akuntansi yang mempunyai pedoman berupa PSAK, PAPI, dan peraturan lainnya, kehidupan ini pun punya pedoman yaitu al-qur’an dan al-hadits. Allah dan RasulNya menjelaskan bagaimana kita seharusnya menjalani sebuah kehidupan. Kita pun berkewajiban menjalani kehidupan ini sesuai dengan SOP yang telah Allah dan Rasul buat. Selain itu Allah pun telah menyediakan tempat terbaik bagi seluruh hambaNya, yaitu surga dan neraka. Tempat terakhir nan kekal yang menjadi hadiah atas hasil auditing atas seluruh amal kita. Sebelum Allah menghitung amal kita nanti di akhirat, Rasulullah mengajarkan kita untuk selalu melakukan muhasabah (koreksi) atas setiap amal yang telah kita perbuat. Muhasabah atas catatan debet dan catatan kredit kehidupan kita.

0 comment:

Post a Comment