RSS
Facebook
Twitter

September 19, 2014

Abul Qasim sebelum Nubuwah

Ia memiliki ayah bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan memiliki ibu bernama Aminah binti Wahb. Jika ditarik jauh ke atas, Ia merupakan keturunan dari nabi yang mulia, yakni Nabi Ismail dan ayahnya, Nabi Ibrahim AS.

Ia dilahirkan di Kota Mekkah, tepatnya di Bani Hasyim pada Senin, 9 Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Jika dimasehikan, Ia dilahirkan pada 20 atau 22 April 571.

Setelah Ia lahir di bumi ini, ibunya langsung mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran anaknya. Kakeknya pun sangat senang karena memiliki cucu yang montok. Hingga akhirnya sang kakek membawanya ke Ka’bah untuk berdo’a di sana. Ia pun diberi nama “Muhammad”. Nama yang cukup asing bagi orang arab. Nama yang juga belum pernah dipakai orang arab untuk menamai anak-anak mereka.

Ia pernah disusui oleh 3 wanita mulia, yakni ibundanya sendiri, Aminah binti Wahb, budak Abu Lahb, Tsuwaibah, dan wanita dari Bani Sa’d, Halimah As-Sa’diyah.

Abu Lahb, sosok seorang paman yang sangat senang ketika Ia dilahirkan. Seorang paman yang sangat mencintainya ketika Ia baru dilahirkan, hingga sang paman menyuruh budaknya untuk menyusuinya. Namun, setelah Ia memproklamirkan diri sebagai Nabi dan Rasul, maka Abu Lahb lah orang yang paling menentang dakwahnya. Hingga suatu saat, tatkala Ia naik ke Bukit Shafa untuk memproklamirkan diri sebagai Rasul, Abu Lahb pun berucap, “Celakalah engkau untuk selama-lamanya. Apakah hanya dengan ini engkau mengumpulkan kami?”. Perkataan sang paman terdengar oleh Allah dari langit yang ke tujuh, hingga akhirnya Allah menghadiahkan Abu Lahb dengan satu ayat khusus, yakni Surat Al Lahab ayat yang pertama, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!”.

Orang-orang arab memiliki tradisi yang cukup unik ketika mereka memiliki bayi, yakni menyusukan bayi-bayinya kepada orang lain. Hal ini pun yang Ia alami. Ia disusui oleh wanita dari Bani Sa’d yang bernama Halimah As-Sa’diyah. Bukan tanpa sebab tradisi ini dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa tradisi ini perlu dilakukan, diantaranya menjaga bayi dari wabah penyakit yang sudah cukup banyak di kota mekkah, menguatkan otot si bayi, dan agar keluarga yang menyusuinya bisa melatih bahasa arab si bayi dengan fasih. Ibunda Halimah merupakan sosok perempuan yang serba kekurangan sebelum merawatnya. Namun setelah merawatnya, hidupnya berubah menjadi serba berkecukupan dan penuh dengan barokah.

Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Anas RA, Kala itu ia sedang bermain-main di perkampungan Bani Sa’d bersama teman-teman sepersusuannya, lalu Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dadanya dan mengeluarkan segumpal darah dari dadanya seraya berkata, “Ini ialah bagian setan yang ada pada dirimu”. Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air zamzam, kemudian menata dan memasukkan kembali ke tempat semula. Teman-teman sepersusuannya sangat ketakutan, hingga akhirnya mereka lari ke ibunya sambil berkata, “Muhammad telah dibunuh!, Muhammad telah dibunuh!”. Setelah kejadian itu, ibu susuannya merasa takut hingga akhirnya Ia dikembalikan lagi ke Bani Hasyim. Kala itu ia masih berusia 4 atau 5 tahun.

Di usianya yang ke 6 tahun, Ia diajak ibunya pergi ke Kota Yastrib (Madinah) untuk ziarah ke makam ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ibunya juga mengajak sang kakek dan pembantu wanitanya yang bernama Ummu Aiman. Setelah sebulan menetap di Yastrib, mereka pun pulang ke Madinah. Namun, ketika sampai di sebuah tempat yang bernama Al Abwa’, ibunya sakit dan meninggal dunia, hingga akhirnya sang ibu dimakamkan di situ.

Setelah ibunya meninggal dunia, ia diasuh oleh sang kakek. Kakeknya sangat sayang kepadanya. Ibnu Hisyam pernah berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat ka’bah untuk abdul muthalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk duduk di sekeliling dipan tersebut hingga beliau keluar kesana, dan tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu saat, selagi ia menjadi anak kecil yang montok, ia duduk di atas dipan itu. Paman-pamannya langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala abdul muthalib melihatnya, dia berkata, ‘Biarkanlah anakku ini, Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung’. Kemudian beliau duduk bersamanya di atas dipan tersebut sambil mengelus punggungnya dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang dilakukannya”. Pada usia 8 tahun, Ia ditinggal mati oleh sang kakek, hingga Ia pun diasuh oleh sang paman yang paling beliau cintai, yakni Abu Thalib bin Abdul Muthalib.

Abu Thalib merupakan paman yang sangat mencintai dan melindungi dakwah yang Ia bawa. Namun dalam akhir hayatnya, Ia meninggal dunia dalam keadaan kafir. Kala itu, ia berucap kepada sang paman, “Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah”. Di sudut yang lain, ada Abu Lahab dan Abdullah bin Abu Umayyah yang juga ikut berucap, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muthalib?”. Kedua orang tersebut terus-menerus berucap seperti itu, hingga akhirnya sang paman berucap, “Aku tetap pada agama Abdul Muthalib”. Ia pun sedih, kemudian berucap, “Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya”. Akhirnya, turunlah salah satu Kallamnya, yakni Surat At-Taubah ayat ke 113, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam”

Di kala Ia berusia 12 tahun, Ia diajak sang paman untuk ikut berdagang ke Negeri Syam, Sebuah negeri yang mulia. Namun lambat laun orang-orang kafir memecah belah negeri ini menjadi 4 negara, yakni Palestina, Yordania, Lebanon, Dan Suriah. Ketika rombongan sampai di Bushra, sebuah tempat yang sudah masuk wilayah Syam, ada seorang Rahib yang memiliki sebutan Buhira menghampiri dan mempersilahkan rombongan untuk singgah sejenak di rumahnya. Tak lama setelahnya sang rahib memegang tangannya dan berucap, “Orang ini ialah pemimpin alam semesta. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”. “Bagaimana engkau mengetahui hal tersebut?”, tanya sang paman. Sang rahib pun melanjutkutkan ucapannya, “Sebenarnya sejak kalian tiba di aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak bersujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami”. Sang rahib pun menyarankan kepada sang paman untuk membawanya kembali ke mekkah dengan alasan keamanan, hingga akhirnya sang paman menyuruh beberapa pemuda yang ikut dalam rombongan untuk mengantarnya kembali ke Kota Mekkah.

Waktu pun berlalu begitu cepat. Detik berubah menjadi menit. Menit berganti menjadi jam. jam pun terus berputar untuk menjadi hari. Hari-hari pun terus berkejaran hingga menjadi minggu. Minggu pun silih berganti untuk menjadi bulan. Dan bulan pun terus berjalan hingga menjadi tahun. tak terasa sekarang Ia sudah berusia 25 tahun.

Di usia ini lah Ia melepas masa lajangnya, dengan menikahi seorang wanita bernama Khadijah Binti Khuwailid. Sosok perempuan janda dari Kota Mekkah yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya memiliki akhak yang baik, harta yang melimpah, paras yang cantik, otak yang pintar, dan keturunan yang terhormat. Kala itu, Khadijah sudah berusia 40 tahun dan pernah menikah 2 kali.

Benih-benih cinta diantara keduanya bertemu dalam perniagaan. Setelah Khadijah tahu tentang keahliannya dalam berdagang, Khadijah pun menyuruhnya untuk menjualkan barang dagangannya ke Negeri Syam dengan upah yang lebih tinggi daripada para pedagang lainnya. Ia pun setuju dan akhirnya mereka bermuamalah dengan menggunakan Akad Murabahah. Salah satu akad dalam ekonomi syariah yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Khadijah menyuruh pembantunya yang bernama Maisarah untuk menemaninya, hingga akhirnya mereka berangkat ke Negeri Syam.

Setibanya di Mekkah setelah berdagang di Negeri Syam, Khadijah memperoleh banyak keuntungan yang barokah dari perniagaannya bersamanya. Maisarah pun mengatakan bahwa Ia memiliki banyak kelebihan daripada para pedagang yang lainnya. akhlaknya pun lebih baik daripada kebanyakan manusia pada umumnya. Mendengar dan melihat hal-hal positif ini, Khadijah semakin sayang dan cinta kepadanya. Hingga akhirnya Khadijah menyuruh temannya yang bernama Nafisah binti Munyah untuk menyampaikan kabar gembira ini kepadanya. Alhamdulillah gayung bersambut, hingga akhirnya mereka pun menikah.

Banyak Ustadz yang menyatakan bahwa pernikahan yang paling indah dan mulia sepanjang zaman ialah pernikahannya dengan Khadijah. Pernikahan yang mulia ini dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Ia memberikan mahar kepada Khadijah 20 ekor unta muda. Mahar yang tidak murah, menginggat pada waktu itu ia merupakan seorang pemuda yang sangat kaya karena perniagaannya. Dari pernikahan yang mulia ini, lahirlah 6 anak yang mulia. 2 laki-laki dan 4 perempuan. Mereka ialah Al Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Abdullah.

Di kala usianya 35 tahun, Ka’bah direnovasi karena bangunannya semakin rapuh dan dindingnya sudah pecah-pecah. Berbagai pemuka bani-bani yang ada di mekkah pun bergotong royong untuk membangun kembali Ka’bah. Hingga sampai pada proses peletakkan hajar aswad kembali, terjadi perselisihan di antara mereka. setiap bani mengklaim bahwa mereka lah yang pantas untuk meletakkan hajar aswad. Pertumpahan darah pun hampir terjadi, hingga ada orang di antara mereka yang memberikan solusi cukup cerdik dalam menyelesaikan masalah ini, yakni siapapun yang masuk pertama kali ke masjidilharam, maka ia lah yang akan meletakkah hajar aswad ditempatnya semula. Subhanallah, ternyata yang masuh pada saat itu ialah Abul Qasim. Hingga akhirnya mereka rida’ bahwa yang meletakkan hajar aswad ialah Ia. Ia pun sangat bijaksana dalam urusan ini. Ia meminta sehelai selendang, kemudian para pemuka dari setiap bani disuruh untuk memegang ujung selendang, kemudian hajar aswad diletakkan di atas selendang dan selendang pun di bawa ke tempat hajar aswad. Sesampainya di tempat, Ia mengambil dengan tangan mulianya dan menaruhnya. Sebuah cara yang sangat bijaksana.

Itulah keadaan sebelum nubuwah, tentang Nabi dan Rasul kita yang bernama Abul Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Daftar Rujukan:
- Kitab Sirah Nabawiyah “Ar-Rahiqul Makhtum” yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury dari India

Penulis : Rudiasa, S.E.

August 27, 2014

Engkaulah Tulang Rusukku, sayang..

Keluarga itu sungguh bahagia, sang suami bernama Rizki dan sang istri bernama Riza. Kala itu Riza bertanya kepada suaminya, “Sayang, menurut kamu, aku ini siapa?”

Sang suami pun menjawab, “kamu ialah tulang rusukku yang dulu hilang, alhamdulillah sekarang sudah aku temukan”

“Sayang, maaf ya kalau aku suka minta yang aneh-aneh. Jujur, aku ingin dimanja, mangkaknya aku kayak gitu. aku sayang sama kamu!”, ucap Riza

Sang suami pun menimpali, “Aku juga sayang sama kamu, aku juga minta maaf kalau sering membuat kamu kecewa, terutama tentang yang kemarin, yang aku mencela makanan buatan kamu”

Akhirnya mereka pun tidur dengan nyenyaknya..

Waktu pun berlalu begitu cepatnya. Detik berganti menjadi menit. Menit berubah menjadi jam. Jam berubah menjadi hari. Hari pun berkejaran menjadi minggu. Minggu pun juga berkejaran menjadi bulan. Dan bulan pun berubah menjadi tahun..

Rizki dan istrinya kembali disibukkan dalam urusan dunia. Mereka disibukkan oleh urusan mereka masing-masing. Suaminya sibuk kerja hingga pulang larut malam. Istrinya pun sibuk dengan organisasinya.. 

Kala itu, terjadilah pertengkaran hebat. Pertengkaran yang sesungguhnya disebabkan karena hal sepele. Namun karana cinta sudah mulai pudar, dan amarah pun sudah memuncak, hingga pertengkaran itu pun terlihat semakin memanas..

Di akhir pertangkaran, Riza berkata kepada suaminya, “kamu sudah ndak cinta aku lagi!”

Yang mana pada saat itu ia sudah berada di luar rumah dan hendak meninggalkan rumah..

Si suami masih terbakar api kebencian kepada istrinya, hingga ia pun berkata, “Aku menyesali pernikahan ini, ternyata kamu bukan tulang rusukku!”

Tiba-tiba Riza terdiam, jantungnya berhenti untuk beberapa saat karena syok mendengar pernyataan suaminya yang dulu sangat dicintainya..

Sang suami sadar kalau berkata salah. Dia menyesali pernyataannya, namun nasi sudah menjadi bubur, dan tak mungkin bisa kembali lagi..

Sambil berlinang air mata, Riza pun kembali ke rumah untuk mengambil barang-barangnya dan bertekad untuk berpisah..

“Kalau aku bukan tulang rusuk kamu, biarkan aku pergi”, ujarnya

Dan mereka pun bercerai..

Lima tahun berlalu..

Si Rizki masih belum menikah. Ia masih berupaya mencari kabar tantang Riza. Ada kabar yang menyatakan bahwa Riza pernah ke luar negeri, namun ia sudah kembali ke Indonesia. Dari kabar yang sama, ternyata Riza pernah menikah dengan orang bule dan sudah bercerai. Rizki sangat kecewa mendengar kabar itu, namun ia tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menyesali apa yang sudah ia perbuat..

Kala itu, mereka dipertemukan di sebuah bandara Internasional yang berada di Jakarta. Namun sayang, pertemuan mereka dipisahkan oleh dinding pembatas yang terbuat dari kaca..

“Apa kabar?”, sapa Rizki

“Baik”, jawabnya singkat

“kamu sudah menemukan tulang rusuk kamu yang hilang?”, tanya Riza

Sambil tertunduk, Rizki pun menjawab, “Belum”

“Oya, aku akan terbang ke New York di penerbangan berikutnya. Aku akan kembali 2 minggu lagi. Teleon aku ya kalau ada waktu?, oya nomor teleponku masih sama, tak berubah..”, ucap Riza sambil tersenyum

Hingga ia pun berucap, “Selamat tinggal Rizki”

Tiga jam setelahnya, Rizki menerima kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Riza terjatuh dan semua penumpang dinyatakan tewas. Rizki menangis sejadi-jadinya. Dia menyesali semua yang sudah ia perbuat, terutama ketika ia mengatakan, “kamu bukan tulang rusukku!”. Ia sadar bahwa sesungguhnya tulang rusuknya yang hilang ialah Riza, istrinya dulu..

Penyesalan selalu datang di hari esok, jadi mari kita jaga mulut kita agar tidak sampai melukai orang-orang yang paling kita cintai, terutama istri atau suami kita..

Buat yang sudah menikah, semoga bisa bermanfaat..

Buat yang belum menikah, selamat mencari “tulang rusuk” kalian yang masih hilang..

Ingat selalu pesan Rasul kita dalam mencari tulang rusuk yang hilang, yakni “Perempuan itu dinikahi atas empat perkara; karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Jadi utamakanlah menikahi perempuan yang mempunyai dasar agama, maka kamu akan mendapatkan keuntungan” (HR. Muslim dari jalan sahabat Abu Hurairah RA)

Penulis : Rudiasa, S.E
Rasulullah merupakan orang yang sangat sayang kepada umatnya, termasuk kepada kita. Rasa sayang beliau salah satunya dituangkan dalam puasa ramadhan. Ketika bersahur, Rasul menganjurkan kita untuk bersahur di akhir waktu, hal ini dilakukan karena beliau tahu bahwa kita sebentar lagi akan haus dan lapar. Bagitupun ketika berbuka puasa, Rasul menganjurkan kepada kita untuk memyegerakan berbuka puasa, hal ini dilakukan karena Rasul tahu kita sudah sangat lapar dan haus. Tidak sayang kah kita dengan Rasul?, mari kita menyayangi Rasul dengan melakukan sunnah-sunnah yang pernah dilakukan oleh Rasul, dan mari kita menyayanagi Rasul dengan tidak melakukan ritual-ritual ibadah yang sesungguhnya itu tidak pernah dilakukan oleh Rasul. 

Dalil tentang mengakhirkan sahur
Dari Zaid bin Tsabit RA, dia berkata, "Kami sahur bersama Rasulullah SAW kemudian kami melaksanakan shalat." Aku bertanya, "Berapakah jarak antara sahur dan shalat?" Rasul menjawab, "Yaitu kira-kira (lama membaca) 50 ayat" {Muslim 3/131}

Dalil tentang menyegerakan berbuka puasa
Dari Sahal bin Sa'ad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa" {Muslim 3/131}.

Dari Abu 'Athiyyah, dia berkata, "Saya dan Masruq pernah berkunjung kepada Aisyah RA. Lalu Masruq bertanya kepadanya, 'Dua orang lelaki dari sahabat Rasul ini sama-sama menginginkan kebaikan. Salah seorang dari mereka ada yang menyegerakan shalat Maghrib dan berbuka, seorang lagi mengakhirkan shalat Maghrib dan berbuka?'" Aisyah bertanya, "Siapa yang menyegerakan shalat Maghrib dan berbuka?" Kami menjawab, "Ia adalah Abdullah." Lalu Aisyah berkata, "Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW." {Muslim 3/131-132}.

Penulis : Rudiasa, S.E

5 Golongan Manusia menurut Islam

Agama islam ialah agama yang sempurna dan universal. Semua aspek kehidupan sudah diatur oleh islam. Mulai dari cara kita makan sampai cara kita mendirikan sebuah negara. Agama islam juga bisa diterapkan di mana saja, termasuk di Korea Utara dan Israel. Islam adalah kata bahasa arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah, dan berserah diri. Objek penyerahan diri ini ialah Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti penyerahan diri kepada Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 19, yang artinya “sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam..”

Di dalam agama Islam terdapat 5 golongan manusia yang berkaitan dengan akidah mereka kepada Allah SWT, yakni:

1. Golongan Mu’min, yakni golongan yang menerima dan menyakini rukun iman yang enam, iman kepada Allah, MalaikatNya, KitabNya, RasulNya, Hari akhir, dan TakdirNya dengan tulus dan jujur. Golongan ini tidak hanya menerima akidah dengan hatinya, melainkan juga mengakui dengan lisannya, dan mengamalkan dengan tingkah lakunya. 

2. Golongan Kafir, yakni golongan yang menolak rukun iman secara terang-terangan. 

3. Golongan Munafik, yakni golongan yang pada lahirnya menerima akidah islam namun sebenarnya hatinya menolak dan tidak mempercayai akidah islam. Berikut merupakan sabda Rasul menganai golongan munafik, Dari Abdullah bin Amr RA, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa tertanam dalam dirinya empat hal, maka ia benar-benar seorang munafik sejati, dan barangsiapa dalam dirinya terdapat salah satu dari empat hal, maka dalam dirinya tertanam satu kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, (yaitu) (1) Apabila berbicara ia berdusta (2) Apabila membuat kesepakatan ia mengkhianati (3) Apabila berjanji ia mengingkari (4) Apabila berdebat ia tidak jujur.' Namun di dalam hadits Sufyan disebutkan, 'Barangsiapa dalam dirinya terdapat salah satu dari empat hal ini maka di dalam dirinya terdapat salah satu ciri kemunafikan. '"{Muslim 1/56}

4. Golongan Musyrik, yakni golongan yang mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain. Di zaman Rasul dulu para penduduk Mekkah menyekutukan Allah SWT dengan patung-patung, diantaranya dengan patung Latta dan Uzza. Sehingga, Golongan ini selain menyembah Allah SWT juga menyembah benda-benda lainnya sebagai perantara, diantaranya dengan patung.

5. Golongan Murtad, yakni golongan yang dulunya beriman kepada Allah SAW kemudian keluar dari agama Islam. 

Dimanakan posisi kita? Semoga kita mampu istiqomah berada di golongan pertama, yakni Golongan Orang Muk’min agar kita bisa bareng-bareng masuk surga dan bisa melihat Allah SAW serta bersendau gurau dengan kekasihNya, Rasulullah Muhammad SAW.

Daftar Tujukan 
-Al Qur’an dan Hadist Shahih Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
-Karim, Adiwarman A. 2010. Bank Islam :Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi 4). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Penulis : Rudiasa, S.E
Kemarin malam (24/04/2014), saya mengikuti kajian rutin yang ada di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari Kota Malang. Pada waktu itu pematerinya ialah Ustad Azhar Reza, salah satu ustad yang sudah tidak asing lagi di Kota Malang. Beliau membahas beberapa hal, diantaranya ialah 6 penyesalan orang-orang yang sudah mati dan mereka masuk neraka menurut Al Qur’an. 

1. Orang itu ingin beramal saleh
Orang yang sudah mati dan masuk neraka akan menyesal kenapa dulu mereka tidak beramal saleh, coba kalau beramal saleh, pasti mereka tidak akan dipanggang di neraka. Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Faathir Ayat ke 37, “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan." Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”

2. Orang itu ingin mengikuti Rasul
Orang yang sudah mati dan tinggal di neraka akan menyesal karena semasa hidupnya tidak mengikuti Rasul, terutama sunnah-sunnah beliau. Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Ibrahim Ayat ke 44, “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul." (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?”

3. Orang itu ingin menjadi orang yang beriman
Orang yang sudah mati dan hidup di neraka akan menysal kenapa dulu tidak menjadi orang yang beriman. Andaikan mereka beriman, pasti hasilnya beda. Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Asy Syu'araa' Ayat ke 102, “maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.”

4. Orang itu ingin berbuat baik
Menjadi orang baik merupakan sebuah kaharusan kalau kita ingin bertemu dan bersendau gurau dengan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di surgaNya Allah SWT. Jika tidak, maka tempatnya ialah di neraka. Orang-orang yang sudah mati dan masuk neraka merasa menyesal karena semasa hidupnya tidak digunakan untuk berbuat baik. Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Az Zumar Ayat ke 58, “Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab 'Kalau sekiranya aku dapat kemnbali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik'”

5. Orang itu tidak ingin mendustakan ayat-ayat Allah SWT
Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT berarti mereka orang kafir. Orang-orang seperti ini akan menyesal ketika sudah dipanggang di neraka. Mereka menyesal kenapa dulu semasa hidup tidak mau mengamalkan ayat-ayat aAllah SWT, malahan mendustakannya. Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Al An'aam Ayat ke 27, “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan)”

6. Orang itu tidak ingin menjadi orang yang zalim
Dalil tentang hal ini ialah Al Qur’an Surat Asy Syuura Ayat ke 44, “Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada baginya seorang pemimpinpun sesudah itu. Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: "Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?"

Teman-teman semuanya, salah satu makanan hati yang mengandung banyak vitamin dan protein ialah mengikuti kajian islam. Alhamdulillah di Kota Malang banyak sekali kajian seperti itu yang diadakan hampir setiap hari, terutama bakda maghrib dan subuh. Masjid-masjid yang sering melakukan hal itu diantaranya ialah Masjid Al Ghifari, Masjid Utsman bin Affan, Masjid An Nuur Jagalan, dll.

Sebagai penutup, ada kisah menarik orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu dalam menyelesaikan sebuah masalah. 

Dari Abu Said Al Khudri RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, "Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang banyak ilmunya. Lalu ditunjukkan kepada seorang rahib dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus-terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu menjawab, 'Tidak. Taubatmu tidak akan diterima.' Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya. Lalu ditunjukkan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata, 'Saya telah membunuh seratus orang dan apakah taubat saya akan diterima?' Orang alim itu menjawab, 'Ya. Tidak ada penghalang antara taubatmu dan dirimu. Pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setelah itu, beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.' Maka berangkatlah laki-laki itu ke daerah yang telah ditunjukkan tersebut. Di tengah perjalanan menuju ke sana, laki-laki itu meninggal dunia. Lalu malaikat rahmat dan malaikat adzab saling berbantahan. Malaikat rahmat berkata, 'Orang laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.' Malaikat adzab membantah, 'Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.' Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua malaikat yang sedang berbantahan itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia dengan cara yang terbaik. Orang tersebut berkata, 'Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya hingga ke tempat tujuannya. Mana yang terdekat, maka itulah keputusannya.' Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa orang laki-laki itu meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman malaikat rahmat." Qatadah berkata, "Al Hasan berkata, 'Seseorang telah berkata kepada kami bahwasanya laki-laki itu meninggal dunia dalam kondisi jatuh terlungkup." {Muslim 8/803-804}

Penulis : Rudiasa, S.E
Hal yang paling menyenangkan ialah ketika kita bisa bercerita mengenai orang yang paling cintai dan orang yang paling mencintai kita. Bahkan ketika sakaratul maut pun beliau masih perduli dengan kita, siapa beliau? beliau ialah Abul Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Ada pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Bagaimana kita bisa sayang dan cinta dengan rasul kita kalau kita ndak kenal siapa beliau?, Oleh sebab itu, Sirah Nabawiyah merupakan hal yang penting untuk dipelajari.

Rasulullah SAW melepas masa lajangnya ketika beliau berusia 25 tahun, dengan menikahi seorang akhwat bernama Khadijah binti Khuwailid RA. Ibunda Khadijah merupakan seorang janda berusia 40 tahun dan pernah menikah 2 kali. Kedua suaminya meninggal dunia, sehingga status beliau ialah janda ditinggal mati oleh suami. Ibunda Khadijah memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan akhwat pada umumnya, diantaranya beliau memiliki akhlak yang baik, paras yang cantik, harta yang melimpah, otak yang pintar, dan beliau lahir dari keturunan yang terhormat. 

Benih-benih cinta diantara mereka muncul ketika keduanya saling bermuamalah (berdagang). Ketika Ibunda Khadijah mengetahui bahwa Rasul memiliki sifat dan akhlak yang mulia, maka beliau menawakan kepada Rasul untuk menjualkan barang dagangannya ke Negeri Syam. Rasul pun menerima tawaran itu karena beliau suka berdagang. Sebelum berangkat, Ibunda Khadijah menyuruh pembantunya yang bernama Maisarah untuk menemani beliau, hingga akhirnya mereka berangkat dengan rombongan pedagang lainnya.

Sesampainya di Negeri Syam, Maisarah melihat ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Rasulullah, diantanya ketika panas menyengat, beliau tidak merasa kepanasan karena dinaungi oleh Malaikat Jibril dengan awan. Proses jual beli pun juga seperti itu, Rasulullah merupakan sosok pedagang yang sangat beramanah dan jujur, hingga dagangan beliau selalu habis dan ibunda khadijah memperoleh banyak keuntungan plus keberkahan dari perdagangannya dengan Rasulullah.

Setibanya di Kota Mekkah, benih-benih cinta itu semakin besar. Ibunda Khadijah semakin tertarik dengan Rasulullah setelah mendengar beberapa kabar positif dari pembantunya. Pada waktu itu ibunda khadijah sudah banyak dilamar oleh pembesar Quraisy, namun semuanya ditolak. Tak lama setelah itu, ibunda khadijah menyuruh teman wanitanya yang bernama Nafisah binti Munyyah untuk bertamu ke rumah rasul dan mengatakan bahwa ibunda khadijah siap untuk dinikahi. Alhamdulillah ternyata gayung bersambut, hingga rasul pun menerima lamaran itu.

Beberapa hari setelahnya rasul beserta paman-pamannya pergi ke rumah paman ibunda khadijah untuk melamar dan manikahi keponakannya. Pada saat itu ada 2 bani besar yang menyaksikan akad nikahnya, yakni Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Pernikahan itu berlangsung 2 bulan selepas beliau pulang dari negeri syam. Mahar yang diberikan rasul untuk ibunda khadijah ialah 20 ekor unta muda.

Pernikahan yang mulia ini tidak didasari karena dunia, namun karena akhlak dan agama. Ustad Abdullah Saleh Hadromi pernah membahas mengenai kisah ini. Kata beliau, pada waktu itu memang Rasulullah membutuhkan figur seorang ibu, hingga beliau mau menikah dengan ibunda khadijah. Rasulullah tidak menikah lagi sampai ibunda khadijah meninggal dunia diusianya yang ke 65 tahun. Pada waktu itu Rasulullah sangat sedih, hingga para ahli sirah menyebut tahun itu sebagai “Tahun Berduka”. Bukan hanya istri tercinta beliau yang meninggal dunia pada waktu itu, paman beliau yang bernama Abu Thalib juga meninggal pada tahun itu.

Dari pernikahan mulia ini, lahirlah anak-anak yang mulia juga. Rasulullah dan ibunda khadijah memiliki 6 anak, 2 ikhwan 4 akhwat. 2 ikhwan bernama Al-Aasim dan Abdullah, kemudian 2 akhwat bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

Dengan kita mengetahui sirah rasul, maka kita akan semakin sayang dan cinta dengan Rasulullah SAW. Semoga kita selalu diberi kemudahah oleh Allah untuk mengikuti sunnah-sunnah beliau.

Daftar rujukan 
- Kitab Sirah Nabawiyah “Ar-Rahiqul Makhtum” yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dari India
- Ceramahnya UstadZ Abdullah SHaleh Hadromi dari Kota Malang

Penulis : Rudiasa, S.E

Istri-Istri Rasulullah SAW

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mempu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki, yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (QS An-Nisa’ : 3)

Kata Ustadz Abdullah Shaleh Hadromi, “Sesungguhnya hukum asal menikah itu poligami, bukan monogami. Namun jika seorang laki-laki ndak bisa berlaku adil (dan pasti ndak bisa), maka nikahilah satu perempuan saja”. Perlu digarisbawahi, bahwasanya manusia biasa hanya boleh menikah sebanyak 4 kali, selebihnya ndak boleh. Beda dengan Rasulullah SAW, beliau di izinkan oleh Allah untuk menikah lebih dari 4 kali, hal itu didasarkan pada ayat di atas. Pernikahan beliau tidak hanya didasarkan karena nafsu syahwat saja, namun karena tujuan-tujuan lain yang lebih mulia, diantaranya memuliakan wanita yang dinikahinya dan menarik simpati dari sukunya untuk masuk Islam, serta menjalin kekerabatan dengan banyak suku, karena dengan begitu, Islam lebih mudah untuk berkembang. 

Rasulullah SAW memiliki seorang ibu bernama Aminah binti Wahb dan memiliki seorang ayah bernama Abdullah bin Abdul Muthalib. Beliau dilahirkan di Mekkah (Bani Hasyim) pada Senin, 9 atau 12 Rabi’ul Awwal Tahun Gajah. Beliau wafat di Madinah, tepatnya di pangkuan istri tercintanya (Ibunda Aisyah RA) pada Senin, 12 Rabiul Awwal Tahun ke 11 H. Hampir 23 tahun Rasulullah SAW mendakwahkan agama Islam di Mekkah dan Madinah, selama itu pula beliau sering dihina dan dicaci maki oleh orang-orang kafir quraisy, bahkan pernah sampai mau dibunuh. Untuk itu, sangat keterlaluan kalau kita membuat ritual-ritual baru dalam beribadah yang sesungguhnya itu tidak pernah diajarkan oleh beliau. Seakan-akan kita tidak menghargai jerih payah beliau kalau kita melakukan hal tersebut. Agama Islam sudah sempurna, jadi tidak perlu ada tambahan-tambahan lagi. Hal ini didasarkan pada penggalan firman Allah SWT di surat Al Maidah ayat ke 3, “.. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.. “

Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri menceritakan dalam Kitab Sirah Nabawiyahnya yang berjudul “Ar-Rahiqul Makhtum”, bahwasanya Rasulullah SAW memiliki 11 istri. Dari 11 istri beliau tersebut, hanya Ibunda Aisyah lah yang berstatus “Perawan”, lainnya ialah janda. Mari kita simak siapa saja istri beliau,

1. Khadijah binti Khuwailid RA
Benih-benih cinta diantara Rasulullah SAW dengan Ibunda Khadijah muncul karena perniagaan. Kala itu, Ibunda Khadijah menawarkan kerjasama dengan Rasulullah SAW, yakni menjualkan barang dagangannya ke Negeri Syam (Palestina, Lebanon, Suriah, Yordania) bersama pembantunya yang bernama Maisarah. Sepulang dari Negeri Syam, Maisarah bercerita kepada majikannya (Ibunda Khadijah) bahwa Rasulullah SAW memiliki sifat-sifat yang mulia, cerdik, dan jujur. Hingga ia pun tertarik kepada beliau. Dan ia menyuruh teman wanitanya yang bernama Nafisah binti Munyah untuk pergi ke rumah Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa Ibunda Khadijah siap untuk dinikahi. Alhamdulillah ternyata gayung bersambut, hingga akhirnya mereka pun menikah. Kala itu Rasulullah SAW berumur 25 tahun dan Ibunda Khadijah berumur 40 tahun.

Dari pernikahan yang mulia ini, lahirlah anak-anak yang mulia juga, yakni Al Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, Dan Abdullah. Al qasim dan Abdullah meninggal dunia ketika kecil, Zainab menikah dengan sahabat Abu al-Ash bin Al-Rabi’ (anak bibinya dari pihak Ibunda Khadijah), Ruqayyah dan Ummu Kultsum dinikahi oleh Sahabat Utsman bin Affan (tidak bersama-sama), dan Fathimah dinikahi oleh Sahabat Ali bin Abu Thalib.

Ibunda Khadijah memiliki banyak keutamaan, diantaranya seperti yang dilukilkan oleh Hadist Shahih berikut,
Dari Aisyah RA, dia berkata, "Demi Allah, saya tidak pernah merasa cemburu kepada para istri Rasulullah SAW yang lain kecuali kepada Khadijah, meskipun ia tidak hidup semasa dengan saya. Pernah, pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW menyembelih seekor kambing, beliau berkata, 'Berikanlah sebagian daging kambing ini kepada teman-teman Khadijah.' Suatu ketika saya marah kepada Rasulullah sambil berkata, "Khadijah?" Lalu beliau menjawab, "Sesungguhnya aku benar-benar telah dianugerahi cinta Khadijah." {Muslim 7/134}

2. Saudah binti Zama’ah RA
Pada bulan Ramadhan tahun ke 10 dari nubuwah, Ibunda Khadijah dipanggil oleh Allah AWT. Beberapa hari setelah wafatnya paman yang paling beliau cintai, yakni Abu Thalib. Selang beberapa saat, tepatnya pada bulan Syawwal Rasulullah SAW menikahi Ibunda Saudah yang sebelumnya pernah menikah dengan Sahabat As-Sakran bin Amru.

3. Aisyah binti Abu Bakar Ash –Shiddiq RA
Ia merupakan putri dari Sahabat Abu Bakar, sahabat sejati beliau. Ibunda Aisyah dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawal tahun ke 11 dari nubuwah, satu tahun setelah menikahi Ibunda Saudah dan 2 tahun 5 bulan sebelum hijrah ke Yastrib (Madinah). Beliau menikahinya pada usia 6 tahun, lalu mereka hidup bersama pada bulan syawal, 7 bulan setelah hijrah ke madinah, yang saat itu ia berumur 9 tahun. Jadi Rasulullah SAW baru hidup satu rumah dengan Ibunda Aisyah pada umur 9 tahun, bukan 6 tahun.

Ibunda Aisyah merupakan sosok wanita yang pencemburu. Dan bagi saya pribadi, itu sangat normal sebagai sosok istri. Kala itu, Ibunda Aisyah dan Ibunda Hafshah diajak bepergian oleh Rasulullah SAW. Ketika malam tiba, biasanya Rasulullah menempuh perjalanan bersama Ibunda Aisyah sambil berbincang-bincang dengannya. Hingga suatu saat, Ibunda Hafshah berkata kepada ibunda Aisyah, “Hai Aisyah, bagaimana jika malam ini kamu mengendarai untaku dan aku mengendarai untamu. Setelah itu, kita akan memperhatikan apa yang akan terjadi nanti”. Ibunda Aisyah pun menjawab, “Baiklah!”. Hingga akhirnya Ibunda Aisyah mengendarai untanya Ibunda Hafshah dan Ibunda Hafshah mengendarai untanya Ibunda Aisyah. Tak lama kemudian, Rasulullah mendatangi untanya Ibunda Aisyah yang kini dikendarai oleh Ibunda Hafshah. Rasulullah mengucapkan salam kepadanya, dan menempuh perjalanan bersamanya hingga mereka singgah di suatu tempat. Sementara itu, ibunda Aisyah merasa kehilangan Rasulullah hingga ia merasa cemburu. Kemudian, ketika mereka singgah di suatu tempat, Ibunda Aisyah menjulurkan kedua kakinya di antara Pohon Idzkhir sambil berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, perintahkanlah kalajengking atau ular untuk menggigitku, karena aku tidak kuasa untuk mengatakan sesuatu kepada rasul-Mu” {Muslim 7/138}.

4. Hafshah binti Umar ibnu Khattab RA
Dahulu, Ibunda Hafshah memiliki suami bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmi. Ketika suaminya meninggal dunia dan selesai masa iddahnya, yakni 4 bulan 10 hari (baca QS. Al-Baqarah : 234), ia pun dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ke 3 H, tepatnya antara Perang Badr dan Perang Uhud.

5. Zainab binti Khuzaimah RA
Sebelumnya, ia merupakan istri dari Sahabat Abdullah bin Jahsy yang meninggal dunia dalam perang uhud. Kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada yahun ke 4 H. Namun ia meninggal dunia beberapa bulan, tepatnya 2 atau 3 bulan setelah dinikahi oleh Rasulullah SAW.

6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
Sebelumnya ia ialah istri Abu Salaman yang meninggal dunia pada bulan jumdats tsaniyah tahun ke 4 H. kemudian ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama.

7. Zainab binti Jahsy RA
Ia berasal dari Bani Asad bin Khuzaimah dan putri bibi Rasulullah SAW sendiri. Sebelumnya ia ialah istri Sahabat Zaid Bin Haritsah, kemudian dicerai dan dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Sya’ban tahun ke 6 H.

8. Juwairiyah binti Al-Harist RA
Ayahnya ialah pimpinan Bani Mushthaliq dari Khuza’ah. Tadinya ia ada di antara para tawanan Bani Mushthaliq, yang kemudian menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas, lalu Rasulullah SAW menebus dan menikahinya pada bulan Sya’ban tahun ke 6 H.

9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
Dulunya ia merupakan istri Ubaidillah bin Jahsy, namun suaminya meninggal dunia dan ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Muharam tahun ke 7 H.

10. Shafiyah binti Huyai RA
Ia berasal dari Bani Israel yang sebelumnya ialah salah satu tawanan dari Perang Khaibar. Lalu Rasulullah SAW memilihnya untuk dirinya sendiri, membebaskan, dan menikahinya setelah menaklukan Khaibar pada tahun 7 H.

11. Maimunah binti Al-Harist RA
Ia ialah saudari Ummul Fadhl, Lubabah binti Al Harist. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke 7 H.

Itulah ke 11 istri Rasulullah SAW, yang mana mereka merupakan wanita-wanita terbaik di zamannya, terutama Ibunda Khadijah dan Ibunda Aisyah.

Daftar Rujukan:
- Al Qur’an terjemahan
- Kitab Shahih Muslim
- Kitab Sirah Nabawiyah “Ar-Rahiqul Makhtum” yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury dari India

Penulis : Rudiasa, S.E

August 16, 2014

Pembiayaan Bagi Hasil di Bank Syariah

Menurut Veithzal dan Arviyan (2010:681), pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang sudah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Siamat (2005:31) menyatakan bahwa penyaluran pembiayaan merupakan kegiatan yang mendominasi pengalokasian dana di bank syariah. Penggunaannya mencapai 70% - 80% dari volume usaha bank syariah. Oleh sebab itu, sumber pendapatan utama bank syariah berasal dari transaksi penyaluran pembiayaan, baik dalam bentuk mark up, bagi hasil, maupun pendapatan sewa.

Menurut Karim (2010:231), jenis-jenis pembiayaan syariah menurut tujuannya dibedakan menjadi 3, yakni pembiayaan modal kerja syariah, pembiayaan investasi syariah, dan pembiayaan konsumtif syariah. Akad atau prinsip yang menjadi dasar operasional bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan dibedakan menjadi 4 macam, yaitu prinsip jual beli (murabahah, salam dan istishna), prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), prinsip sewa (ijarah dan ijarah muntahhiyah bittamlik), dan akad pelengkap (hiwalah, rahn, qardh, wakalah, dan kafalah). Akad yang banyak digunakan dalam pembiayaan jual beli ialah murabahah, salam dan istishna’. Sementara pada prinsip bagi hasil ialah mudharabah dan musyarakah (Wangsawidjaja, 2012:192).

Menurut Antonio (2001:90), pembiayaan bagi hasil dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan musaqah. Namun demikian, prinsip yang diterapkan di Indonesia ialah musyarakah dan mudharabah.

Pembiayaan Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Karim (2010:102) menyatakan bahwa musyarakah merupakan semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Transaksi musyarakah dilandasi dengan adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang dagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), ingangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

Manfaat pembiayaan musyarakah bagi bank syariah ialah bank dapat memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil yang sesuai dengan pendapatan usaha yang dikelola mudharib. Bagi nasabah, pembiayaan ini bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha guna mengembangkan usahanya melalui sistem kemitraan dengan bank syariah. Ada beberapa resiko dalam pembiayaan ini. Pertama, terdapat risiko pembiayaan (credit risk) jika nasabah melakukan wanprestasi. Kedua, risiko pasar yang disebabkan karena pergerakan nilai tukar jika pembiayaan ini diberikan dalam bantuk valuta asing. Ketiga, bank juga menanggung risiko operasional yang disebabkan oleh internal fraud, diantaranya pencatatan yang tidak benar atas nilai posisi, penyuapan, ketidaksesuaian pencatatan pajak, kesalahan, dan manipulasi dalam pelaporan catatan akuntansi (Wangsawidjaja, 2012:199)

Aplikasi pembiayaan ini ialah pembiayaan proyek dan modal ventura (Antonio, 2001:93). Pembiayaan Proyek biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Kemudian untuk modal ventura, penanaman modal dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

Pembiayaan Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Jika usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana (IAI, 2002: Paragraf 7).

Pada pembiayaan mudharabah, bank syariah bertindak sebagai pemilik dana yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja. Sementara nasabah bertindak sebagai pengelola dana dalam kegiatan usahanya. Bank syariah memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam mengelola usaha tersebut. Pengawasan itu bisa dilakukan dengan melihat bukti-bukti laporan usaha yang bisa dipertanggungjawabkan. Pembagian hasil usaha dinyatakan dalam bentuk nisbah yang sudah disepakati. Nisbah ini tidak bisa dirubah, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak. Pembiayaan mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan barang. Ketika modal yang diberikan dalam bentuk uang maka nominalnya harus dicatat dengan jelas, dan ketika modal yang diberikan dalam bentuk barang maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan jumlahnya dinyatakan dengan jelas. Pengembalian pembiayaan mudharabah dilakukan dalam dua cara, yakni secara angsuran dan sekaligus pada akhir periode. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana yang diserati dengan bukti pendukung (Wangsawidjaja, 2012:193).

Mudharabah terdiri dari dua jenis, yakni mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (investasi terikat). Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenaai tempat, cara, dan obyek investasinya (IAI, 2002:Paragraf 8).

Daftar Rujukan
-Rivai,Veithzal dan Arifin, Arviyan. 2010. ISLAMIC BANKING:Sistem Bank Islam Bukan Hanya Solusi Menghadapi Krisis Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Perbankan & Ekonomi Global . Jakarta: PT. Bumi Askara
-Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan (Edisi Kelima). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
-Karim, Adiwarman A. 2010. Bank Islam :Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi 4). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
-Wangsawidjaja. 2012. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
-Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press


Sistem Bagi Hasil di Bank Syariah

Operasional bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing). Menurut Veithzal dan Arviyan (2010:800), bagi hasil merupakan suatu mekenisme yang dilakukan oleh bank syariah (mudharib) dalam upaya memperoleh hasil dan membagikannya kembali kepada para pemilik dana (shahibul maal) sesuai dengan kontrak yang telah disepakati bersama di awal. Prinsip bagi hasil memiliki karakteristik Natural Uncertainty Contracts (NUC), yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing). Prinsip ini mengharuskan pemanfaatan dana untuk digunakan dalam usaha produktif. Produk pembiayaan yang menggunakan prinsip ini ialah mudharabah dan musyarakah.
Menurut Tarsidin (2010:20), dasar perhitungan pendapatan bagi hasil untuk masing-masing pihak dapat dibagi menjadi tiga, yakni:
1. Profit Sharing, dasar perhitungannya adalah profit yang diperoleh dari usaha yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan. Profit merupakan selisih antara penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya usaha, baik berupa harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi.
2. Gross Profit Sharing, dasar perhitungannya adalah gross profit (laba kotor), yakni penjualan atau pendapatan usaha dikurangi dengan harga pokok penjualan/biaya produksi. Dengan skema ini, pihak-pihak yang berkontrak tidak menghadapi kepastian di sisi biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi.
3. Revenue Sharing, dasar perhitungannya adalah penjualan/pendapatan usaha. Dalam hal ini pemilik dana hanya menghadapi kepastian atas tinggi rendahnya penjualan/pendapatan usaha dan tidak menghadapi ketidakpastian atas biaya-biaya usaha (harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan,biaya umum, dan administrasi).

Daftar Rujukan
-Tarsidin. 2010. Bagi Hasil: Konsep dan Analisis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
-Rivai,Veithzal dan Arifin, Arviyan. 2010. ISLAMIC BANKING:Sistem Bank Islam Bukan Hanya Solusi Menghadapi Krisis Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Perbankan & Ekonomi Global . Jakarta: PT. Bumi Askara

Produk dan Jasa Bank Syariah

Menurut Karim (2010: 97), bank syariah memiliki 3 produk dan jasa, yakni:
1. Penyaluran Dana (Financing)
Secara garis besar produk pembiayaan dana terbagi dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
a. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli (Ba’i), Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank syariah ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
b. Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah). Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada prinsip jual beli objek transaksinya ialah barang, namun pada ijarah objek transaksinya ialah jasa. Pada akhir masa sewa, bank bisa menjual barang yang disewakan kepada nasabah. oleh karena itu dalam perbankan syariah dikenal istilah ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati di awal.
c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Syirkah). Prinsip bagi hasil dilandasi karena adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Bentuk umum dari akad ini ialah akad mudharabah dan musyarakah.
d. Pembiayaan dengan Akad pelengkap. Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, bisanya bank juga memerlukan akad pelengkap. Akad ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk mempermudah pelakasanaan pembiayaan. Meskipun tidak untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini Bank diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.

2. Penghimpunan Dana (Funding)
Penghimpunan dana di bank syariah berupa giro, tabungan, dan deposito. Sementara Prinsip yang diterapkan berupa prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah. Prinsip wadi’ah yang diterapkan di bank syariah ialah wadi’ah yad dhamanah. Prinsip ini diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Prinsip wadi’ah amanah ialah harta titipan yang tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Sementara itu, dalam akad wadi’ah dhamanah pihak bank bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan, sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
b. Prinsip Mudharabah. Penyimpan atau deposan dalam prinsip mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola dana). Dana dari prinsip ini digunakan untuk mendanai pembiayaan dalam bentuk sewa, jual beli, maupun bagi hasil. Berdasarkan kewenangan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah (unrestricted invesment account) dan mudharabah muqayyadah (restricted invesment account). Dalam mudharabah mutlaqah tidak ada batasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Sedangkan dalam mudharabah muqayyadah ada batasan dalam menggunakan dana tersebut.

3. Jasa Perbankan
Selain berfungsi sebagai lembaga intermediasi, bank syariah juga dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain:
a. Sharf (jual beli valuta asing), jual beli mata uang yang tidak sejenis, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot).
b. Ijarah (sewa), Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dalam akad tersebut

Daftar Rujukan
-Karim, Adiwarman A. 2010. Bank Islam :Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi 4). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Pengertian Bank Syariah

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, definisi bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Wangsawidjaja (2012:16) menambahkan bahwa dalam kegiatan usahanya, bank syariah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, yakni tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. 
Bank syariah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut penelitian Maisaroh dan Sumiati (2011), hal itu disebabkan oleh, Pertama, banyak bank konvensional yang menggunakan sistem bunga sebagai dasar operasinya mengalami ketidakseimbangan laporan keuangan, atau antara transaksi tabungan dan pembiayaan yang dilakukan perusahaan. Kondisi ini membawa perusahaan pada tingkat kerugian yang terus menerus, bahkan pada kondisi yang paling buruk banyak bank yang dilikuidasi karena sudah tidak mampu beroperasi lagi. Sementara di sisi lain bank syariah semakin baik dalam melangkah dan meraup keuntungan yang selalu meningkat dari waktu ke waktu. Kedua, ada kecenderungan dari kelompok masyarakat tertentu (Islam) yang mulai berfikir untuk menerapkan pola hidup yang sesuai dengan syariah Islam, termasuk dalam hal perekonomian. Sehingga ketika bank syariah mulai berkembang dan masyarakat bisa mendapat akses yang mudah untuk menjangkaunya, maka kelompok ini dengan kesadaran sendiri mulai memindahkan transaksi dana (baik menyimpan atau meminjam) mereka dari bank konvensional menuju bank syariah. Ketiga, adanya perhatian lebih dari Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. Hal itu dibuktikan dengan diterbitkannya UU yang menjadi landasan operasional bank syariah, serta dibentuknya tim penelitian dan pengembangan bank syariah yang menjadi pendukung kesuksesan operasional bank syariah. 
Fungsi bank syariah dan bank konvensional ialah sama, yakni sebagai lembaga perantara (intermediary institution). Tujuan dari kedua bank tersebut juga sama, yakni menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan. Biarpun keduanya memiliki kesamaan dalam hal fungsi dan tujuan, namun ada perbedaan yang mencolok diantara keduanya, yakni dalam hal operasional. Bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dan risiko sementara bank konvensional menggunakan sistem bunga. Menurut Antonio (2001:34), berikut perbedaan bank syariah dengan bank konvensional, 
Bank Syariah : 
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja 
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, dan sewa 
3. Profit dan falah oriented 
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan 
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa dewan pengawas syariah 
Bank Konvensional 
1. Investasi yang halal dan haram 
2. Memakai perangkat bunga 
3. Profit oriented 
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk debitor dan kreditor 
5. Tidak ada dewan seperti yang ada di bank syariah 
 
Daftar Rujukan, 
-Bank Indonesia. 1998.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Jakarta: Bank Indonesia.(http://www.bi.go.id) 
-Wangsawidjaja. 2012. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 
-Maisaroh dan Sumiati, Ati. 2011. Tantangan dan Peluang Perbankan Syariah dalam Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah untuk Memperkuat Kesejahteraan Umat (online). Jurnal Ilmiah, Vol IX, hal 133-145
-Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press

August 13, 2014

June 19, 2014

June 12, 2014

Pendakian Gunung Panderman 2014 (Foto)


























Ekspresi Cemburu Ibunda Aisyah RA



Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, itulah namanya. Seorang perempuan dari Muhajirin yang dinikahi oleh Rasulullah pada bulan Syawwal tahun kesebelas dari Nubuwah. Beliau merupakan istri ketiga Rasul setelah Ibunda Khadijah binti Khuwailid dan Ibunda Saudah binti Zama’ah. Diantara 11 istri Rasulullah, hanya Ibunda Aisyah lah yang menyandang status “Gadis”. Ibunda Aisyah termasuk perempuan yang pandai. Ia merupakan istri Rasul yang sering membenarkan firman-firman Allah yang turun kepada suaminya ketika ada kerancuan. Ia juga merupakan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan Hadist Shahih dari suaminya.

Rasulullah sangat sayang dan cinta dengan Ibunda Aisyah. Tatkala beliau hendak wafat, beliau mendo’akan Ibunda Aisyah yang pada saat itu sedang memangku beliau. “Ya Allah, berikanlah rahmat kepadaku dan pertemukanlah aku dengan kekasihku”, (HR. Muslim). Hingga akhirnya Rasulullah wafat dipangkuan istri tercintanya, yakni Ibunda Aisyah RA.

Adakalanya, Ibunda Aisyah juga marah dengan Rasulullah. Namun dengan kemarahan itulah benih-benih cinta diantara keduanya menjadi tambah subur. Kala itu Ibunda Aisyah marah dengan Rasulullah. Rasul tahu, kemudian beliau berucap, “Sesungguhnya aku tahu kapan kamu suka kepadaku dan kapan kamu marah kepadaku”.Aisyah pun menimpali, “Dari mana engkau mengetahui itu, ya Rasulullah?”. Rasul pun menjawab, “Ketika kamu sedang suka kepadaku, maka kamu akan mengatakan, 'Demi Tuhan Muhammad'. Dan ketika kamu sedang marah kepadaku, maka kamu akan mengatakan, 'Demi Tuhan Ibrahim.'”. Sambil tersipu malu, Ibunda Aisyah pun menimpali, “Demi Allah ya Rasulullah, memang yang tidak saya sebut ketika saya sedang marah hanyalah nama engkau” (HR. Muslim).

Sebagai perempuan biasa, Ibunda Aisyah pun memiliki rasa cemburu. Ia cemburu dengan istri-istri Rasul yang lainnya, terutama dengan Ibunda Khadijah RA. Suatu ketika, Ibunda Aisyah pernah berkata, “Demi Allah, saya tidak pernah merasa cemburu kepada para istri Rasulullah SAW yang lain kecuali kepada Khadijah, meskipun ia tidak hidup semasa dengan saya” (HR. Muslim).

Kala itu, Ibunda Aisyah dan Ibunda Hafshah diajak bepergian oleh Rasulullah. Ketika malam tiba, biasanya Rasulullah menempuh perjalanan bersama Ibunda Aisyah sambil berbincang-bincang dengannya. Hingga suatu saat, Ibunda Hafshah berkata kepada ibunda Aisyah, “Hai Aisyah, bagaimana jika malam ini kamu mengendarai untaku dan aku mengendarai untamu. Setelah itu, kita akan memperhatikan apa yang akan terjadi nanti”. Ibunda Aisyah pun menjawab, “Baiklah!”. Hingga akhirnya Ibunda Aisyah mengendarai untanya Ibunda Hafshah dan Ibunda Hafshah mengendarai untanya Ibunda Aisyah. Tak lama kemudian, Rasulullah mendatangi untanya Ibunda Aisyah yang kini dikendarai oleh Ibunda Hafshah. Rasulullah mengucapkan salam kepadanya, dan menempuh perjalanan bersamanya hingga mereka singgah di suatu tempat. Sementara itu, ibunda Aisyah merasa kehilangan Rasulullah hingga ia merasa cemburu. Kemudian, ketika mereka singgah di suatu tempat, Ibunda Aisyah menjulurkan kedua kakinya di antara Pohon Idzkhir sambil berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, perintahkanlah kalajengking atau ular untuk menggigitku, karena aku tidak kuasa untuk mengatakan sesuatu kepada rasul-Mu” (HR. Muslim)

Daftar rujukan :
- Kitab Shahih Muslim
- Kitab Sirah Nabawiyah “Ar-Rahiqul Makhtum” yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dari India

Penulis : Rudiasa

June 11, 2014

May 20, 2014

Pendakian Gunung Panderman 2014

















Assalamualaikum Indonesia,

Beberapa hari yang lalu (Jum’at, 16 Mei 2014), saya beserta teman-teman saya dari Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (UM) mendaki Gunung Panderman yang berada di Kota Batu. Tidak hanya mendaki, kami juga bermalam di sana. Beranggotakan 6 orang, yakni saya, Khoirul Abidin, Burhannudin, Angga Prasetya Nusantara, Achmad Nurhadhi Pamungkas, dan mas rendy (Mahasiswa S2 UM), kami berangkat dari Kota Malang pukul 8 pagi di hari jum’at. Setelah melakukan perjalanan selama 1 jam sampailah kami di pos pertama, yakni loket pembayaran dan penitipan sepeda motor. Kami menitipkan sepeda motor dengan harga 5 Ribu/kendaraan dan membayar tiket masuk 3 Ribu/orang. Tidak banyak bekal yang kami bawa, hanya beberapa air mineral, mie instan, roti basah, dan beberapa camilan. Kami juga membawa peralatan dan perlengkapan standar orang melakukan camping, yakni tenda, senter, peralatan memasak, dkknya.

Pukul 9 pagi kami mulai mendaki ke puncak Gunung Panderman. Menurut beberapa pendaki yang kami temui, jarak tempuh dari pos pertama sampai puncak membutuhkan waktu 2 jam untuk pendaki profesional. Berhubung kami masih pemula, maka kemarin kami membutuhkan 4,5 jam untuk sampai ke puncak. Ada 3 pos sebelum kami sampai di puncak, yakni pos pembayaran tiket di pintu masuk Gunung Panderman, Pos “Latar Ombo”, dan Pos “Watu Gede”. Sebenarnya kita sudah bisa mendirikan tenda di Pos “Latar Ombo”, namun pemandangannya kurang seru. Oleh sebab itulah kami kemarin bertekad untuk bisa menaklukan puncak Gunung Panderman dan mendirikan tenda disana.

Medan untuk mencapai puncak sangat berat, dimulai dari jalan paving yang menanjak, dilanjutkan dengan jalan setapak, kemudian jalan berdebu, sampai dengan jalan menanjak yang dipenuhi dengan bebatuan yang curam. Tak hanya itu, kami juga melewati lereng gunung yang cukup sempit, seandainya kita jatuh, mungkin kita akan tersesat karena jurang di bawahnya sangat dalam. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang sangat hijau dan rindang. Ada beberapa penduduk lokal yang mencari rumput sampai di tengah hutan, ada pula para ibu-ibu yang memanen sayur-mayur.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan sampailah juga kami di puncak. Pada waktu itu jam menunjukkan pukul 13.30. Waktu yang cukup lama, namun semua terbayar ketika kami sudah sampai di puncak. Pemandangannya luar biasa indah dan udaranya juga sangat segar.

Ketika sampai di puncak, kami langsung disambut oleh puluhan monyet yang menghuni hutan itu. Ada sekitar 15 monyet yang menyabut kami. Diantara ke 15 monyet itu ada yang berwarna putih. Baru kali ini saya melihat monyet berwarna putih dengan mata telanjang. Konon monyet putih itu merupakan pimpinan para monyet di hutan itu. Sebenarnya mereka tidak galak, hanya saja mereka menginginkan makanan kita, sehingga tingkah laku mereka agak berbahaya dan selalu berupaya mendekati kita untuk mengambil makanan yang kita miliki. Tidak perlu khawatir, cukup mengusirnya dengan tongkat yang panjang dan mereka akan pergi.

Sampai di puncak kami langsung membuat tenda untuk menanggulangi datangnya sang hujan, Ahlamdulillah kemarin tidak hujan. Mendirikan 2 tenda sudah cukup untuk kami berenam. Setelah tenda terpasang kami pun menyantap bekal nasi yang kami bawa dari rumah. Sungguh nikmat makan dalam keadaan lapar, apalagi di puncak Gunung Panderman yang sangat indah seperti ini.


Ketika malam tiba, kami pun disodori pemandangan yang sangat indah, yakni bundarnya sang bulan, kerlap-kerlipnya serdadu bintang, dan lampu-lampu kota yang sangat indah dari kota batu. Momen ini tidak kami sia-siakan begitu saja, hingga kami mengabadikannya ke dalam beberapa jepretan kamera.

Jam menunjukkan pukul 7 malam, kamipun mempersiakan kompor untuk membuat mie instan dan kopi. Hal ini kami lakukan untuk menghangatkan tubuh kami karena udara di puncak Panderman sangat dingin. Sambil menunggu kopi dan mie instannya matang kami pun mengelilingi tempat perapian agar tubuh kami tetap hangat. Obrolan kami cukup seru kala itu karena tidak ada satu orang pun yang menganggu kami. Pada waktu itu tidak ada pendaki lain yang bermalam di puncak Panerman, hanya kami berenam.

Ketika suara adzan subuh belum berkumandang, ada suara gaduh di samping tenda kami. Saya pun menenggoknya dan ternyara itu ialah para pendaki lain yang hendak menyaksikan Sunrise (terbitnya sang matahari). Ketika kami tanya, mereka mulai mendaki pukul 11 malam dan sampai di puncak ketika menjelang subuh. Ingin tidur lagi tapi ndak bisa, hingga akhirnya saya pun ikut bergabung dengan mereka sambil membuat beberapa kopi untuk menghangatkan tubuh kami.

Prosesi matahari terbit dari puncak Gunung Pandrman sungguh indah, tak ada satu benda pun yang bisa menghalangi pandangan kami, sehingga prosesi itu sangat jelas dan khidmat. Setelah sang matahari mulai agak meninggi yang pada waktu itu menunjukkan pukul 8 pagi, kami pun bergegas untuk turun dari gunung dan kembali ke Kota Malang.

Perjalanan turun tidak terlalu melelahkan, hanya butuh 2 jam untuk sampai di pos pertama, yakni pos loket pembayaran. Sepanjang perjalanan kami bertemu banyak pendaki, setelah menyapa satu sama lain, akhirnya saya tahu bahwa mereka berasal dari Universitas Brawijaya Malang (UB) yang hendak mengadakan acara di puncak. Pukul 10 pagi kami sudah sampai di pos pertama, Alhamdulillah semua selamat..

Wassalamualaikum Indonesia,
Penulis : Rudiasa (Mahasiswa FE UM)