Sang hujan tampaknya mulai gemar untuk singgah di Kota Malang. Sore ini buktinya, keindahan kepulangan sang matahari di ufuk barat tidak bisa aku nikmati di sore ini. Hujan penyebabnya. Namun aku cukup suka dengan sang hujan. Dia bisa menghasilkan pelangi yang sangat indah. Berbagai warna yang ia tampilkan sudah cukup membuktikan bahwa ia merupakan sesuatu yang sangat indah.
Sore ini aku sedikit kecewa. Kecewa karena aku menggunakan rencana B, yakni membuat rencana baru. Rencana lama yang sudah cukup matang sirna karena aku terlalu ceroboh. Mungkin ini bukan yang diinginkan Allah, atau mungkin aku terlalu sempurna dalam membuat rencana. Entah, yang pasti aku tidak tahu sama sekali. Setidaknya dengan kegagalan rencana ini aku sadar bahwa lain kali aku tidak boleh ceroboh.
Suara adzan telah berkumandang. Itu menandakan shalat isya telah datang. aku pun bergegas menuju Masjid Al Hikmah UM untuk bermanja-manja dengan Allah. Kali ini aku mengobrol dengan Allah mengenai kuliahku, mengenai rencana pekerjaanku, dan mengenai jodohku kelak. yang pasti dalam do’a itu aku meminta agar diberi kemudahan dalam menggapainya. Salah satu teman baikku pernah berkata, “do’a saja ndak cukup, harus berikhtiyar”. Aku merenungi makna kalimat ini, dan ternyata benar. Do’a saja tidak cukup, aku juga harus berusaha. Berusaha dalam menyelesaikan kuliah, berusaha dalam mencari pekerjaan yang aku cintai dan diridhoi Allah, dan berusaha untuk mencari pasangan hidup yang aku cintai dan diridhoi Allah.
Selepas shalat aku pun pulang. Langkah kakiku ditemani tetesan air hujan yang masih enggan untuk berhenti. Untung pada waktu itu hanya gerimis. Coba kalau hujan lebat, mungkin aku akan bermalam di rumah Allah. Aku lihat sekeliling ternyata keadaan sudah sangat sepi. Mungkin sang hujan juga yang menyebabkan.
Langkah kakiku terhenti ketika aku melihat sesosok wanita yang sedang membungkuk di pokok gedung itu. Nampaknya ia sedang mencari sesuatu yang hilang. Dia manggunakan pakaian yang serba putih. Rambutnya pun panjang. Pada waktu itu aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena rambutnya yang panjang menutupi sebagian besar wajahnya.
“kenapa wanita itu?”, aku bertanya pada diriku sendiri. Aku coba untuk mendekatinya. Mendekatinya agar aku bisa melihat wajahnya dan mengetahui apa yang ia lakukan. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 8 malam. Suasana di sekitar gedung itu pun sudah sangat sepi. Hanya aku dan dia yang ada disitu. Ditambah lagi pada waktu itu hujan sudah mulai deras, sehingga keadaan menjadi sangat menakutkan.
Dengan langkah hati-hati aku mulai mendekati wanita berambut panjang itu. Nampaknya ia tidak melihatku. Ia masih membungkuk dan mondar-mandir di pojok gedung itu. Jujur aku sangat takut, namun karena rasa penasaranku yang sangat besar maka aku bulatkan tekadku untuk menemuinya.
“mbak apa yang kamu lakukan?”, sapaku dengan suara agak serak karena takut
Tidak ada jawaban pada saat itu, aku pun bertanya lagi, “mbak apa yang kamu lakukan?”
Lagi-lagi tidak ada jawaban. aku sempat kesal dibuatnya, dan dengan terpaksa aku menepuk bahunya dan berkata, “mbak apa yang kamu lakukan?”.
Ia hanya diam, namun ia menangis pada waktu itu. Aku binggung harus melakukan apa. Apakah aku pergi dan meninggalkannya yang sedang menangis di tengah sepinya kampus? ataukah aku membantu dia dan membuatnya tidak menangis lagi?. Pikiranku sangat binggung pada saat itu. Entah dari mana asalnya, yang pasti bulu kudukku berdiri pada saat itu. Aku pun berusaha untuk menghilangkan rasa takut ini. Setelah berpikir sejenak, aku putuskan untuk membantu dia.
“mbak apa yang kamu lakukan di sini?”, tanyaku lagi
“aku mencari sesuatu yang hilang mas”, jawabnya pelan sambil mengusap air matanya
“apa yang kamu cari?”, tanyaku lagi
“sesuatu yang sangat berharga”, jawabnya
“apa sesuatu itu?”, tanyaku lagi
“cukup aku saja yang tahu, orang lain tidak perlu tahu. Termasuk mas”, jawabnya
“oke aku mengerti, tapi aku ingin membantu kamu agar kamu cepat pulang. ini hujannya makin deras, dan malam pun makin larut. Bahaya kalau jam segini masih ada wanita yang berada di kampus”, jelasku
Dia hanya diam. Kemudian ia pergi ke gedung sebelahnya sambil tetap membungkuk untuk mencari barangnya yang belum ketemu. Mungkin sesuatu itu spesial, sehingga ia rela harus mencarinya sampai larut malam seperti ini.
Ku lirik jam tanganku, dan ia sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku ingin pulang, tapi aku tak tega untuk meninggalkannya. Hingga aku pun mengikutinya dari belakang.
“mbak sesuatu yang hilang itu begitu berharga ya buat kamu?”, tanyaku
“iya mas. Dengan sesuatu itu aku lebih bersemangat dalam menjalani hidup. Aku sangat sayang dengan sesuatu itu. Aku ndak akan pulang sebelum menemukannya”, jawabnya
Aku hanya diam. Kemudian ia berkata lagi, “nama mas siapa? Kok tumben mau bantuin aku?”.
“tadinya aku mau pulang, namun aku melihat wanita yang nampaknya sedang kebinggungan. Untuk itulah aku kesini. Oya namaku Rudi, aku dari Fakultas Ekonomi. Nama kamu siapa?”, timpalku
“aku Nidia, aku dari Fakultas Pendidikan. Oya terima kasih sudah perduli sama aku. Aku rasa sesuatu yang hilang itu sudah aku temukan”, jawabnya
“Apa itu?”, tanyaku
“hatimu”, jawabnya sambil tersenyum lebar
Aku pun ikut tersenyum, ingin sekali aku mengenalnya lebih dekat. Namun sayang ia sudah pergi dari hadapanku. Ia lari menerobos lebatnya hujan di malam itu. Aku coba untuk mengejarnya. Namun kakiku terasa lumpuh. Kakiku tidak bisa bergerak untuk mengejarnya. Aku hanya bisa melihatnya pergi begitu saja tanpa bertanya kenapa ia mencari hatiku. Selang beberapa saat ia sudah hilang. Satu yang kuingat dari dia, namanya ialah Nidia.
“Allah Akbar.. Allah Akbar”
Aku mendengar suara adzan dari kejauhan, makin lama suara itu makin keras. Makin keras dan makin keras. Aku tidak tahu dari mana suara adzan itu.
“rud bangun sudah subuh!”, ucap seseorang yang tidak aku ketahui
“rud bangun, sudah subuh!”, suara itu terdengar lagi
Dengan terkejut aku bangun dan berteriak, “haaahhh!”
Astaga, aku bermimpi. Aku bermimpi bertemu dengan seorang wanita bernama Nidia. Suara adzan itu, itu ialah suara muadzin yang berada di masjid dekat kostku. Sementara untuk suara yang terakhir, itu ialah suara teman baikku yang mencoba membangunkanku.
Penulis : Rudiasa (Mahasiswa FE UM)