Kala itu, ada seorang bapak, anak, dan seekor keledai hendak pergi menuju Kampung Durian Runtuh. Untuk sampai di kampung tersebut, mereka harus melewati Kampung Ipin, Kampung Upin, Kampung Mail, dan Kampung Tok Dalang. Mereka pun berjalan beriringan melewati kampung ipin. Sesampainya di sana, mereka dikomentari oleh penduduk kampung ipin. Kata mereka, “Wah bodoh banget ini bapak sama anak, masak ada keledai ndak dinaikin”. Bapak dan anak terpengaruh dengan kata mereka, akhirnya bapak dan anak menaiki keledainya.
Perjalanan pun berlanjut, kali ini mereka sampai di kampung upin. Warga di kampung ini kembali mengomentari anak dan bapak tersebut. Kata mereka, “Wah gimana bapak dan anak ini, masak keledai sekecil itu dinaiki berdua, sungguh ndak punya rasa kasihan”. Anak dan bapak itu pun kembali terpengaruh, hingga sang bapak turun, namun anaknya tetap berada di atas keledainya.
Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini mereka sampai di kampung mail. Di sini mereka kembali dikomentari oleh warga. Kata mereka, “Anak kurang ajar ini, ndak punya sopan santun sama sekali, masak bapaknya di suruh jalan tapi ia enak-enakan di atas keledai”. Anak dan bapak lagi-lagi terpengaruh, akhirnya mereka bertukar tempat. Kali ini si bapak yang berada di atas keledai dan anaknya disuruh jalan.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan, kali ini mereka melewati kampung tok dalang. Lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung. Kata mereka, “Bapak macam apa ini, masak anaknya dibiarkan jalan namun ia malah enak-enakan berada di atas keledai. Sungguh bapak yang ndak pantes untuk ditiru”. Anak dan bapak pun kembali terpengaruh, hingga si bapak turun dan mereka berhenti sejenak
Anak dan bapak ini akhirnya binggung.“Gimana se warga disini, ndak dinaiki salah, dinaiki berdua salah, anak naik salah, bapak naik pun salah”, gerutu mereka.
Akhirnya mereka punya ide, yakni keledainya digotong berdua menuju kampung durian runtuh. Digotonglah keledai tersebut. Namun lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung durian runtuh. Kata mereka, “Wah gila nih bapak sama anak, ada keledai bukannya dinaiki, malah digotong seperti itu. Sungguh keluarga yang bodoh”.
Nah, masih mau menuruti kemauan orang lain?
Penulis : Rudiasa, SE
Perjalanan pun berlanjut, kali ini mereka sampai di kampung upin. Warga di kampung ini kembali mengomentari anak dan bapak tersebut. Kata mereka, “Wah gimana bapak dan anak ini, masak keledai sekecil itu dinaiki berdua, sungguh ndak punya rasa kasihan”. Anak dan bapak itu pun kembali terpengaruh, hingga sang bapak turun, namun anaknya tetap berada di atas keledainya.
Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini mereka sampai di kampung mail. Di sini mereka kembali dikomentari oleh warga. Kata mereka, “Anak kurang ajar ini, ndak punya sopan santun sama sekali, masak bapaknya di suruh jalan tapi ia enak-enakan di atas keledai”. Anak dan bapak lagi-lagi terpengaruh, akhirnya mereka bertukar tempat. Kali ini si bapak yang berada di atas keledai dan anaknya disuruh jalan.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan, kali ini mereka melewati kampung tok dalang. Lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung. Kata mereka, “Bapak macam apa ini, masak anaknya dibiarkan jalan namun ia malah enak-enakan berada di atas keledai. Sungguh bapak yang ndak pantes untuk ditiru”. Anak dan bapak pun kembali terpengaruh, hingga si bapak turun dan mereka berhenti sejenak
Anak dan bapak ini akhirnya binggung.“Gimana se warga disini, ndak dinaiki salah, dinaiki berdua salah, anak naik salah, bapak naik pun salah”, gerutu mereka.
Akhirnya mereka punya ide, yakni keledainya digotong berdua menuju kampung durian runtuh. Digotonglah keledai tersebut. Namun lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung durian runtuh. Kata mereka, “Wah gila nih bapak sama anak, ada keledai bukannya dinaiki, malah digotong seperti itu. Sungguh keluarga yang bodoh”.
Nah, masih mau menuruti kemauan orang lain?
Penulis : Rudiasa, SE