RSS
Facebook
Twitter

March 8, 2015

Kala itu, ada seorang bapak, anak, dan seekor keledai hendak pergi menuju Kampung Durian Runtuh. Untuk sampai di kampung tersebut, mereka harus melewati Kampung Ipin, Kampung Upin, Kampung Mail, dan Kampung Tok Dalang. Mereka pun berjalan beriringan melewati kampung ipin. Sesampainya di sana, mereka dikomentari oleh penduduk kampung ipin. Kata mereka, “Wah bodoh banget ini bapak sama anak, masak ada keledai ndak dinaikin”. Bapak dan anak terpengaruh dengan kata mereka, akhirnya bapak dan anak menaiki keledainya.

Perjalanan pun berlanjut, kali ini mereka sampai di kampung upin. Warga di kampung ini kembali mengomentari anak dan bapak tersebut. Kata mereka, “Wah gimana bapak dan anak ini, masak keledai sekecil itu dinaiki berdua, sungguh ndak punya rasa kasihan”. Anak dan bapak itu pun kembali terpengaruh, hingga sang bapak turun, namun anaknya tetap berada di atas keledainya.

Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini mereka sampai di kampung mail. Di sini mereka kembali dikomentari oleh warga. Kata mereka, “Anak kurang ajar ini, ndak punya sopan santun sama sekali, masak bapaknya di suruh jalan tapi ia enak-enakan di atas keledai”. Anak dan bapak lagi-lagi terpengaruh, akhirnya mereka bertukar tempat. Kali ini si bapak yang berada di atas keledai dan anaknya disuruh jalan.

Perjalanan pun kembali dilanjutkan, kali ini mereka melewati kampung tok dalang. Lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung. Kata mereka, “Bapak macam apa ini, masak anaknya dibiarkan jalan namun ia malah enak-enakan berada di atas keledai. Sungguh bapak yang ndak pantes untuk ditiru”. Anak dan bapak pun kembali terpengaruh, hingga si bapak turun dan mereka berhenti sejenak

Anak dan bapak ini akhirnya binggung.“Gimana se warga disini, ndak dinaiki salah, dinaiki berdua salah, anak naik salah, bapak naik pun salah”, gerutu mereka.

Akhirnya mereka punya ide, yakni keledainya digotong berdua menuju kampung durian runtuh. Digotonglah keledai tersebut. Namun lagi-lagi mereka dikomentari oleh penduduk kampung durian runtuh. Kata mereka, “Wah gila nih bapak sama anak, ada keledai bukannya dinaiki, malah digotong seperti itu. Sungguh keluarga yang bodoh”.

Nah, masih mau menuruti kemauan orang lain?

Penulis : Rudiasa, SE

March 5, 2015

Ada sebuah kisah yang sangat menarik. Kisah ini ialah kisah nyata yang diambil dari salah satu kitab yang ditulis oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah, salah seorang Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Kisah ini juga pernah disampaikan oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami dari puncak Gunung Bromo.

Dikisahkan, dalam sebuah kerajaan ada seorang Menteri yang selalu berbaik sangka kepada Allah SWT. Menteri ini selalu berkata, “pilihan Allah ialah pilihan yang paling baik”.

Suatu saat, Sang Raja dari kerajaan ini sedang mengupas buah-buahan, tanpa sengaja ternyata tangannya kena sayatan pisau hingga menimbulkan luka yang cukup parah. Darah pun berceceran di tangannya. Sang Raja kemudian memanggil Sang Menteri yang berbaik sangka kepada Allah SWT tadi, niatnya ingin dihibur. Datanglah Sang Menteri, kemudian ia berkata, “Wahai Rajaku, pilihan Allah ialah pilihan yang paling baik”. Sang Raja langsung marah besar. Dia kecewa dengan Sang Menteri yang tidak bisa menghiburnya, justru malah berkata seperti itu. Apa yang terjadi?, Sang Menteri langsung dicopot dari jabatannya dan dimasukkan ke dalam penjara. Subhanallah, Sang Menteri tetap berbaik sangka kepada Allah, ia berkata, “Wahai Rajaku, pilihan Allah ialah pilihan yang paling baik”.

Hari pun terus berganti, suatu saat Sang Raja sedang berburu hewan buruannya di dalam hutan sendirian. Ia terus mengejar hewan buruannya yang kala itu larinya cukup kencang. Tanpa sengaja ternyata Sang Raja telah melewati batas wilayahnya dan memasuki wilayah orang lain, yakni kawasan orang Majusi, Sang Penyembah Api. Ditangkaplah Sang Raja, kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara bersama para tawanan yang lainnya.

Orang Majusi memiliki tradisi yang sangat mengerikan, yakni menyajikan tumbal untuk tuhan-tuhan mereka. tumbalnya ialah para tawanan, termasuk Sang Raja. Namun ada syaratnya, yakni tidak boleh ada cacat sedikit pun dari tawanan yang akan dijadikan tumbal.

Dipriksalah mereka, termasuk Sang Raja. Ternyata, Sang Raja memiliki cacat, yakni bekas luka sayatan pisau yang ada di tangannya. Hingga sang Raja tidak dijadikan tumbal pada waktu itu.

Dipulangkanlah Sang Raja ke kerajaannya, dalam perjalanan pulang ia teringat nasehat dari Menterinya dahulu. Sesampainya di kerajaan ia berkata kepada Para Algojonya, “Sang Menteri dibebaskan!”.

Bebaslah Sang Menteri, kemudian Sang Raja berkata kepadanya, “Wahai Menteriku, ketika engkau aku masukkan ke dalam penjara, apakah ini merupakan pilihan Allah yang paling baik?”

“Wahai Rajaku, ini merupakan pilihan Allah yang paling baik”, jawab Sang Menteri

“Kenapa seperti itu?”, ucap Sang Raja

“Wahai Rajaku, jika aku tidak dipenjara, maka pasti engkau akan mengajak aku untuk berburu, ketika kita ditangkap oleh orang-orang Majusi, kemudian kita diperiksa, dan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa aku tidak memiliki cacat sementara engkau memiliki cacat, maka pasti aku lah yang akan menjadi tumbalnya”, jawab Sang Menteri

Subhanallah, kisah yang sangat menarik. Sering kali kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Kita sering berkata, “kenapa ya aku koq belum nikah?”, “kenapa ya rezekiku koq hanya segini?”,”kenapa ya aku koq belum dapat momongan?”, dan 1001 alasan lainnya yang intinya kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Padahal percayalah, itu merupakan pilihan Allah yang paling baik, sebagaimana firmanNya (yang artinya), “.. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah 261).

Penulis : Rudiasa, SE