RSS
Facebook
Twitter

September 19, 2014

Abul Qasim sebelum Nubuwah

Ia memiliki ayah bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan memiliki ibu bernama Aminah binti Wahb. Jika ditarik jauh ke atas, Ia merupakan keturunan dari nabi yang mulia, yakni Nabi Ismail dan ayahnya, Nabi Ibrahim AS.

Ia dilahirkan di Kota Mekkah, tepatnya di Bani Hasyim pada Senin, 9 Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Jika dimasehikan, Ia dilahirkan pada 20 atau 22 April 571.

Setelah Ia lahir di bumi ini, ibunya langsung mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muthalib bin Hasyim untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran anaknya. Kakeknya pun sangat senang karena memiliki cucu yang montok. Hingga akhirnya sang kakek membawanya ke Ka’bah untuk berdo’a di sana. Ia pun diberi nama “Muhammad”. Nama yang cukup asing bagi orang arab. Nama yang juga belum pernah dipakai orang arab untuk menamai anak-anak mereka.

Ia pernah disusui oleh 3 wanita mulia, yakni ibundanya sendiri, Aminah binti Wahb, budak Abu Lahb, Tsuwaibah, dan wanita dari Bani Sa’d, Halimah As-Sa’diyah.

Abu Lahb, sosok seorang paman yang sangat senang ketika Ia dilahirkan. Seorang paman yang sangat mencintainya ketika Ia baru dilahirkan, hingga sang paman menyuruh budaknya untuk menyusuinya. Namun, setelah Ia memproklamirkan diri sebagai Nabi dan Rasul, maka Abu Lahb lah orang yang paling menentang dakwahnya. Hingga suatu saat, tatkala Ia naik ke Bukit Shafa untuk memproklamirkan diri sebagai Rasul, Abu Lahb pun berucap, “Celakalah engkau untuk selama-lamanya. Apakah hanya dengan ini engkau mengumpulkan kami?”. Perkataan sang paman terdengar oleh Allah dari langit yang ke tujuh, hingga akhirnya Allah menghadiahkan Abu Lahb dengan satu ayat khusus, yakni Surat Al Lahab ayat yang pertama, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!”.

Orang-orang arab memiliki tradisi yang cukup unik ketika mereka memiliki bayi, yakni menyusukan bayi-bayinya kepada orang lain. Hal ini pun yang Ia alami. Ia disusui oleh wanita dari Bani Sa’d yang bernama Halimah As-Sa’diyah. Bukan tanpa sebab tradisi ini dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa tradisi ini perlu dilakukan, diantaranya menjaga bayi dari wabah penyakit yang sudah cukup banyak di kota mekkah, menguatkan otot si bayi, dan agar keluarga yang menyusuinya bisa melatih bahasa arab si bayi dengan fasih. Ibunda Halimah merupakan sosok perempuan yang serba kekurangan sebelum merawatnya. Namun setelah merawatnya, hidupnya berubah menjadi serba berkecukupan dan penuh dengan barokah.

Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Anas RA, Kala itu ia sedang bermain-main di perkampungan Bani Sa’d bersama teman-teman sepersusuannya, lalu Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dadanya dan mengeluarkan segumpal darah dari dadanya seraya berkata, “Ini ialah bagian setan yang ada pada dirimu”. Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air zamzam, kemudian menata dan memasukkan kembali ke tempat semula. Teman-teman sepersusuannya sangat ketakutan, hingga akhirnya mereka lari ke ibunya sambil berkata, “Muhammad telah dibunuh!, Muhammad telah dibunuh!”. Setelah kejadian itu, ibu susuannya merasa takut hingga akhirnya Ia dikembalikan lagi ke Bani Hasyim. Kala itu ia masih berusia 4 atau 5 tahun.

Di usianya yang ke 6 tahun, Ia diajak ibunya pergi ke Kota Yastrib (Madinah) untuk ziarah ke makam ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ibunya juga mengajak sang kakek dan pembantu wanitanya yang bernama Ummu Aiman. Setelah sebulan menetap di Yastrib, mereka pun pulang ke Madinah. Namun, ketika sampai di sebuah tempat yang bernama Al Abwa’, ibunya sakit dan meninggal dunia, hingga akhirnya sang ibu dimakamkan di situ.

Setelah ibunya meninggal dunia, ia diasuh oleh sang kakek. Kakeknya sangat sayang kepadanya. Ibnu Hisyam pernah berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat ka’bah untuk abdul muthalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk duduk di sekeliling dipan tersebut hingga beliau keluar kesana, dan tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu saat, selagi ia menjadi anak kecil yang montok, ia duduk di atas dipan itu. Paman-pamannya langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala abdul muthalib melihatnya, dia berkata, ‘Biarkanlah anakku ini, Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung’. Kemudian beliau duduk bersamanya di atas dipan tersebut sambil mengelus punggungnya dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang dilakukannya”. Pada usia 8 tahun, Ia ditinggal mati oleh sang kakek, hingga Ia pun diasuh oleh sang paman yang paling beliau cintai, yakni Abu Thalib bin Abdul Muthalib.

Abu Thalib merupakan paman yang sangat mencintai dan melindungi dakwah yang Ia bawa. Namun dalam akhir hayatnya, Ia meninggal dunia dalam keadaan kafir. Kala itu, ia berucap kepada sang paman, “Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah”. Di sudut yang lain, ada Abu Lahab dan Abdullah bin Abu Umayyah yang juga ikut berucap, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muthalib?”. Kedua orang tersebut terus-menerus berucap seperti itu, hingga akhirnya sang paman berucap, “Aku tetap pada agama Abdul Muthalib”. Ia pun sedih, kemudian berucap, “Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya”. Akhirnya, turunlah salah satu Kallamnya, yakni Surat At-Taubah ayat ke 113, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam”

Di kala Ia berusia 12 tahun, Ia diajak sang paman untuk ikut berdagang ke Negeri Syam, Sebuah negeri yang mulia. Namun lambat laun orang-orang kafir memecah belah negeri ini menjadi 4 negara, yakni Palestina, Yordania, Lebanon, Dan Suriah. Ketika rombongan sampai di Bushra, sebuah tempat yang sudah masuk wilayah Syam, ada seorang Rahib yang memiliki sebutan Buhira menghampiri dan mempersilahkan rombongan untuk singgah sejenak di rumahnya. Tak lama setelahnya sang rahib memegang tangannya dan berucap, “Orang ini ialah pemimpin alam semesta. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”. “Bagaimana engkau mengetahui hal tersebut?”, tanya sang paman. Sang rahib pun melanjutkutkan ucapannya, “Sebenarnya sejak kalian tiba di aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak bersujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami”. Sang rahib pun menyarankan kepada sang paman untuk membawanya kembali ke mekkah dengan alasan keamanan, hingga akhirnya sang paman menyuruh beberapa pemuda yang ikut dalam rombongan untuk mengantarnya kembali ke Kota Mekkah.

Waktu pun berlalu begitu cepat. Detik berubah menjadi menit. Menit berganti menjadi jam. jam pun terus berputar untuk menjadi hari. Hari-hari pun terus berkejaran hingga menjadi minggu. Minggu pun silih berganti untuk menjadi bulan. Dan bulan pun terus berjalan hingga menjadi tahun. tak terasa sekarang Ia sudah berusia 25 tahun.

Di usia ini lah Ia melepas masa lajangnya, dengan menikahi seorang wanita bernama Khadijah Binti Khuwailid. Sosok perempuan janda dari Kota Mekkah yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya memiliki akhak yang baik, harta yang melimpah, paras yang cantik, otak yang pintar, dan keturunan yang terhormat. Kala itu, Khadijah sudah berusia 40 tahun dan pernah menikah 2 kali.

Benih-benih cinta diantara keduanya bertemu dalam perniagaan. Setelah Khadijah tahu tentang keahliannya dalam berdagang, Khadijah pun menyuruhnya untuk menjualkan barang dagangannya ke Negeri Syam dengan upah yang lebih tinggi daripada para pedagang lainnya. Ia pun setuju dan akhirnya mereka bermuamalah dengan menggunakan Akad Murabahah. Salah satu akad dalam ekonomi syariah yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Khadijah menyuruh pembantunya yang bernama Maisarah untuk menemaninya, hingga akhirnya mereka berangkat ke Negeri Syam.

Setibanya di Mekkah setelah berdagang di Negeri Syam, Khadijah memperoleh banyak keuntungan yang barokah dari perniagaannya bersamanya. Maisarah pun mengatakan bahwa Ia memiliki banyak kelebihan daripada para pedagang yang lainnya. akhlaknya pun lebih baik daripada kebanyakan manusia pada umumnya. Mendengar dan melihat hal-hal positif ini, Khadijah semakin sayang dan cinta kepadanya. Hingga akhirnya Khadijah menyuruh temannya yang bernama Nafisah binti Munyah untuk menyampaikan kabar gembira ini kepadanya. Alhamdulillah gayung bersambut, hingga akhirnya mereka pun menikah.

Banyak Ustadz yang menyatakan bahwa pernikahan yang paling indah dan mulia sepanjang zaman ialah pernikahannya dengan Khadijah. Pernikahan yang mulia ini dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Ia memberikan mahar kepada Khadijah 20 ekor unta muda. Mahar yang tidak murah, menginggat pada waktu itu ia merupakan seorang pemuda yang sangat kaya karena perniagaannya. Dari pernikahan yang mulia ini, lahirlah 6 anak yang mulia. 2 laki-laki dan 4 perempuan. Mereka ialah Al Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Abdullah.

Di kala usianya 35 tahun, Ka’bah direnovasi karena bangunannya semakin rapuh dan dindingnya sudah pecah-pecah. Berbagai pemuka bani-bani yang ada di mekkah pun bergotong royong untuk membangun kembali Ka’bah. Hingga sampai pada proses peletakkan hajar aswad kembali, terjadi perselisihan di antara mereka. setiap bani mengklaim bahwa mereka lah yang pantas untuk meletakkan hajar aswad. Pertumpahan darah pun hampir terjadi, hingga ada orang di antara mereka yang memberikan solusi cukup cerdik dalam menyelesaikan masalah ini, yakni siapapun yang masuk pertama kali ke masjidilharam, maka ia lah yang akan meletakkah hajar aswad ditempatnya semula. Subhanallah, ternyata yang masuh pada saat itu ialah Abul Qasim. Hingga akhirnya mereka rida’ bahwa yang meletakkan hajar aswad ialah Ia. Ia pun sangat bijaksana dalam urusan ini. Ia meminta sehelai selendang, kemudian para pemuka dari setiap bani disuruh untuk memegang ujung selendang, kemudian hajar aswad diletakkan di atas selendang dan selendang pun di bawa ke tempat hajar aswad. Sesampainya di tempat, Ia mengambil dengan tangan mulianya dan menaruhnya. Sebuah cara yang sangat bijaksana.

Itulah keadaan sebelum nubuwah, tentang Nabi dan Rasul kita yang bernama Abul Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Daftar Rujukan:
- Kitab Sirah Nabawiyah “Ar-Rahiqul Makhtum” yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury dari India

Penulis : Rudiasa, S.E.